Sunday, December 23, 2012

CATATAN 2012: "The Rise of Hijab Style", atau: Kenapa Kata Jilbab Berganti Hijab


CATATAN 2012: “The Rise of Hijab Style”, atau: Kenapa Kata Jilbab Berganti Hijab

Minggu, 23 Desember 2012 19:37

Ade Irwansyah

PERINGATAN: Tulisan yang akan Anda baca terbilang panjang. Bersiaplah.

PERNAH bertanya-tanya kenapa wanita berkerudung zaman sekarang lebih ingin memakai istilah hijab ketimbang jilbab?

Di majalah Tempo edisi 19 Agustus 2012 Dian Pelangi, perancang busana muslimah yang boleh jadi ikon bagi para hijabist tanah air saat ini, memberi jawab begini: “Jilbab itu kan hanya kerudung, sedangkan hijab itu busana yang menutup semua aurat.”

Benarkah defenisi itu?

Mengecek ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) di lemari buku saya (yang saya miliki Edisi Ketiga, 2005) “hijab” berarti: 1) Dinding yang membatasi sesuatu dengan yang lain; 2) Isi dinding yang membatasi hati manusia dan Alllah; dan 3) Dinding yang membatasi seseorang dari mendapat harta waris (contoh kalimatnya: Anak laki-laki adalah hijab dari saudara sebapak). (KBBI, ed.3, 2005, hal. 401.)

Sedangkan KBBI mengartikan “jilbab” sebagai “kerudung lebar yang dipakai wanita muslim untuk menutupi kepala dan leher sampai dada.” (KKBI, ed.3, 2005, hal.473.)

Mengacu pada defenisi menurut kamus, tentu hijab dan jilbab yang disebut Dian tak sinkron. KBBI tidak (belum) mengenal istilah hijab sebagai kerudung maupun pakaian yang menutupi tubuh (baca: aurat) wanita muslimah.

Dengan demikian, pengertiannya mesti ditarik lebih jauh, hingga ke kitab suci Al-Quran. Dalam Islam, tata cara berpakaian bagi wanita muslimah memang diatur. Bahkan aturannya tidak lewat aturan yang dibuat manusia, melainkan oleh Tuhan langsung lewat firman-Nya.

Ayat pertama yang mengatur aurat wanita adalah firman Allah di QS. Al Ahzab (33): 53. Di ayat itu ada petikan kalimat begini: “Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir (hijab). Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kamu dan hati mereka.”

Di buku Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah (Lentera Hati, 2004), M. Quraish Shihab menulis, secara bahasa “hijab” berarti “sesuatu yang menghalangi antara dua lainnya.” Shihab melanjutkan, seseorang yang menghalangi orang lain sehingga tidak dapat bertemu disebut hajib. Kata ini juga berarti “penutup.” Tim Departemen Agama yang menyusun Al Quran dan Terjemahannya menerjemahkan kata “hijab” dengan tabir. Dalam perkembangan lebih jauh, tulis Shihab, “wanita yang menutup diri atau seluruh badannya dengan pakaian, dinamai mutahajjibah.”

Kata “tabir” juga dimaknai banyak ulama sebagai perintah bahwa seluruh badan wanita aurat. Karena makna “tabir” berarti menutupi serta menghalangi terlihatnya sesuatu yang berada di belakangnya. Sebuah tafsir yang dikutip Shihab menerangkan, “Ayat ini menunjukkan … perempuan semuanya aurat—badannya dan terbentuknya—maka tidak boleh membukanya kecuali bila ada darurat atau kebutuhan seperti untuk menyampaikan persaksian atau karena adanya penyakit di badannya (dalam rangka pengobatan).” (M. Quraish Shihab, Jilbab, 2004, hal. 75.)

Lalu ada pula firman Allah beriikutnya yang jelas-jelas menyebut kata “jilbab.” Di QS. Al-Ahzab (33): 59, Allah berfirman: “Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, dan aanak-anak perempuanmu dan wanita-wanita orang-orang mukmin, agar mereka mengulurkan atas diri mereka jilbab mereka. Itu menjadikn mereka lebih mudah dikenal, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Alllah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Jika mengacu ke Al Quran dan pandangan ulama, tak ada beda hijab dengan jilbab. Dua-duanya dimaksudkan sebagai penghalang dan penutup badan bagi wanita muslimah. Jilbab bisa dimaknai sekadar kerudung maupun pakaian longgar yang menutupi seluruh tubuh wanita. (Shibab, 2004: 88.)

***

Dari sini, yang menarik untuk lebih ditelisik adalah bagaimana kata “jilbab” di Indonesia kini seakan hendak berganti jadi “hijab”?

Saat mengulas film Khalifah (Nurman Hakim, 2011), tentang kehidupan wanita wanita berjilbab cadar, saya mengurai perkembangan jilbab mengutip artikel “Jalan Panjang Kaum Jilbabers.”

Saya kutip saja bagian “sejarah” jilbab 30 tahun terakhir di Indonesia dari ulasan saya:

Kesadaran ber-Islam di kalangan kaum muda perkotaan sejak akhir 1970-an kemudian juga termasuk di antaranya, bagi perempuan, yakni menutup tubuh mereka dengan jilbab.

Namun, di awal 1980-an lampau berjilbab tidaklah segampang sekarang, tinggal datang ke toko, beli jilbab, lalu pakai. Dulu, berjilbab, terutama di lingkungan sekolah umum termasuk hal yang dilarang. Masa itu, yang memakai jilbab (waktu itu lebih pas disebut kerudung) umumnya ibu-ibu yang sudah berumur, punya suami, atau jika masih muda, umumnya sekolah di sekolah khusus Islam seperti Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP) atau Aliyah (setingkat SMA). Berjilbab ke sekolah umum masa itu mendatangkan kecurigaan.

Silakan tanya aktivis dakwah yang mengalami pahit getir berjilbab di sekolah umum hingga awal 1990-an. Mereka pasti akan cerita betapa susahnya menjalani perintah Tuhan yang satu itu.

Anda tentu mafhum, Indonesia tahun 1980-an di masa Soeharto terhitung tak akrab dengan Islam yang mereka sebut radikal. Rezim hanya mau “Islam yang mereka terima.” Waktu itu, rezim sedang gerah dengan Islam radikal yang melakukan aksi teror mengebom Candi Borobudor, membajak pesawat Garuda, mengebom Bank BCA, hingga tragedi Tanjung Priok dan Lampung.

Perempuan berjilbab dianggap representasi dari kaum Islam radikal. Maka, berjilbab dilarang. Tidak langsung, tentu. Pada 1982, Departemen P K Republik Indonesia mengeluarkan SK 052/c/Kep/D/82 (kemudian dikenal dengan sebutan SK 052) untuk mengatur penggunaan seragam sekolah. Semua tahu, ini SK untuk melarang jilbab di sekolah-sekolah umum.

Sejak ada SK itu, tekanan pada siswi berjilbab makin keras. Para siswi dipaksa melepas jilbab atau tidak boleh mengikuti pelajaran. Pada 1980-an juga marak insiden pelarangan jibab. Dari buku Revolusi Jilbab (2002) karya Alwi Alatas, kasus jilbab versus siswi sekolah muncul pertama kali 1979 di Bandung. Sejumlah siswi Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Bandung mulai menggunakan jilbab. Pihak sekolah kemudian berniat mengumpulkan mereka dalam kelas terpisah. Para siswi menolak. Ketegangan ini lalu juga mengundang MUI Jawa Barat turun tangan menyurati Kanwil P dan K Jawa Barat, meminta siswi yang memakai jilbab di sekolah tak dipersulit.

Setelah muncul SK di atas, ada pelarangan jilbab di SMAN 3 Bandung. Guru olahraga sekolah itu, bukan hanya melarang siswi yang pakai jilbab ikut pelajarannya, tapi juga mewajibkan mereka pakai hot pants untuk olahraga.

Pada 1983, pelarangan atas jilbab semakin memanas. Dalam catatan MUI di tahun itu ada 100 siswi dipindahpaksa dari sekolah-sekolah mereka ke sekolah lain karena pakai jilbab. Kemudian, di tahun itu juga, tepatnya 9 Agustus, terjadi insiden kekerasan di SMAN 30 Jakarta. Para siswa-siswi SMA itu yang melakukan aksi protes pelarangan jilbab malah dihadapi dengan kekerasan oleh aparat. Mereka memukul beberapa siswa dengan popor senjata, membuat sejumlah siswa masuk rumah sakit.

Tragedi Tanjung Priok tahun 1984 kemudian makin membuat pemakai jilbab terjepit hingga sudut tersempit. Rezim Orde Baru makin mengkotakkan Islam ke dalam “yang diterima” dan “yang tidak diterima.” Dan jilbab masuk kategori Islam “yang tak diterima.” Di sekolah-sekolah negeri di Bandung pada 1984 diklaim bersih dari jilbab.

Bukannya tak ada yang pakai jilbab lagi. Tapi, masa itu, akhirnya pemakai jilbab memilih tiarap. Jika tak pindah sekolah, banyak aktivis Islam masa itu yang memilih berkompromi. Para siswi berjilbab mmemilih manut, melepas kerudung saat masuk pelataran sekolah. Catat artikel “Jalan Panjang Kaum Jilbabers”, aktivis dakwah masa itu akhirnya memilih merapatkan barisan dan kaderisasi.

Berbagai pelatihan keislaman mulai marak. Biasanya dilakukan dengan nama pesantren kilat (sanlat) dan para siswa ini membentuk organisasi keislaman yang berinduk pada OSIS yakni Rohani Islam (Rohis). Kemudian, siswa-siswa ini juga aktif dalam pengkaderan keislaman dalam kelompok-kelompok kecil (metode usroh) dan tarbiyah (pengkaderan intensif).

Para siswi hanya menanggalkan jilbab di sekolah. Di luar itu, mereka menjaga pergaulan antara laki-laki dan perempuan sesuai syariat. Laki-laki dan perempuan ditempatkan terpisah. Di kalangan mereka juga muncul sebutan ikhwan (saudara laki-laki) dan akhwat (saudara perempuan). Yang laki-laki dipanggil “akhi”, yang perempuan “ukhti.”

Pada akhirnya, rezim tak bisa lama-lama lagi melarang jilbab. Bukannya surut, pemakai jilbab malah makin banyak. Di awal 1990-an juga Soeharto konon lebih akrab dengan Islam. Momentumnya saat ia mengizinkan ICMI berdiri. Simpati masyarakat pada penindasan siswi berjilbab juga makin dreas.

Maka, pada 1991, Mendikbud Fuad Hasan mengeluarkan SK nomor 100 yang membolehkan siswi umum berjilbab. 

Sejak itu, jilbab semakin banyak. Maknanya juga kemudian bukan lagi simbol perlawanan atau ketaatan maksimal. Bahkan kemudian jilbab jadi bagian dari mode. Jilbab pun dikotakkan ke dalam beberapa jenis. Ada jilbab panjang, juga ada sebutan jilbab gaul, yang bisa diartikan berkerudung tapi memakai jeans atau bahkan tetap memakai kaus ukuran sang adik.”

***

Jilbab di Indonesia telah melewati sejarah panjang, jatuh-bangun. Jilbab sebagai mode gaya hidup kemudian melahirkan perancang busana muslim, seperti Ida Royani atau Ida Leman. Setelahh Reformasi 1998, perancang koleksi premium untuk perempuan berjilbab kian banyak. Hanya, rancangan mereka terlalu unik dan tampaknya ribet untuk dipakai. Ikon untuk jilbab jenis ini yang kerap dipakai Neno Warisman. Neno memakai jilbab berlapis-lapis.

Nah, anak-anak muda yang ingin tampil kasual tak melirik rancangan model begitu. Akhirnya yang terjadi salah kaprah dalam berjilbab. Berkerudung tapi pakaian tampak ketat. Dari sini muncul istilah jilbab gaul. Dicatat majalah Madina edisi Mei 2008, jilbab yang dulu dianggap tanda-tanda kebangkitan Revolusi Islam, kini dipandang sebagai bagian dari budaya pop saja. Jilbab yang di awal didasari semangat untuk menjalankan hidup yang murni secara Islam, kini diperlakukan sebagai gaya berpakaian yang “funky.” Semua dihadapi serba rileks. Istilah jilbab gaul—yang dalam istilah percakapan sehari-hari adalah berjilbab tapi juga ber-jins, dan bisa jadi menampakkan lekuk tubuh—adalah contoh sikap santai itu.

Para hijabist alias kaum berjilbab pasca dekade 2000-an semisal Dian Pelangi, Ria Miranda, Jenahara Nasution, Fifi Alvianto, dan Ghaida Tsurayya tampaknya tak ingin terkontaminasi makna jilbab gaul yang sudah berkonotasi negatif. Pun mereka ingin membedakan diri dari perancang busana muslimah generasi orangtua mereka.

Seorang kawan yang menulis fashion dan membuat profil Dian di tabloid ini mengatakan, istilah “hijab” lebih meng-internasional ketimbang “jilbab.” Di Barat sana, misalnya, kata Arab “hijab” lebih dikenal ketimbang “jilbab.” Boleh jadi ada benarnya.

Nyatanya, yang membedakan perancang busana muslim generasi Dian dkk dengan angkatan Ida Royani dkk adalah, salah satunya, tulis Tempo, dulu para perancang menjual busana muslimah satu set: dari atas hingga bawah. Kini para perancang muda cenderung menujal dalam potongan terpisah. Pembeli, kaum jilbabers eh hijabers atau hijabist ini, bebas berkreasi. “Intinya adalah mix and match,” kata Dian. Dengan adanya internet dan majalah mode sebagai bahan referensi , setiap hijabist bisa berkreasi melakukan padu padan busana muslimah sesuai selera.

Ini dia, mau tak mau, ketika sudah bertemu dengan mode dan gaya hidup, berjilbab atau berhijab bukan lagi sekadar mematuhi tuntutan agama.***

(ade/ade)   

Berita Terkait:

KALEIDOSKOP: 10 Film Indonesia Terbaik Tahun 2012 (Dengan Sedikit Catatan)KALEIDOSKOP: 5 Adegan Film Horor Seks Paling Panas 2012Dewi Sandra Sudah Mantap Berhijab?10 Video YouTube yang Paling Banyak Disaksikan di 2012

Berikan komentar

Article source: http://news.detik.com/read/2012/12/18/165313/2121674/934/kristen-dan-islam-agama-terbesar-di-dunia?881101934


CATATAN 2012: "The Rise of Hijab Style", atau: Kenapa Kata Jilbab Berganti Hijab

0 comments :

Post a Comment