Friday, December 21, 2012

'Di Kampus Saya Berasa Seperti Artis'

Foto: Rayful Mudassir | The Globe JournalElfis Yosua TruknaLangit masih samar-samar memperlihatkan warna birunya walaupun matahari hampir berganti giliran dengan bulan yang mulai naik perlahan. Suasana bising pun untuk jeda sejenak lantaran umat muslim tengah melaksanakan ibadah shalat Maghrib baik di mesjid maupun di rumah mereka masing-masing.

Usai melaksanakan shalat Magrib di rumah kerabat, tiba-tiba handphone yang saya letakkan di atas kasur kayu berukuran 2×1 itu bergetar. Sejenak terlupa bahwa sebelumnya saya mempunyai janji bertemu dengan salah seorang mahasiswa dari Papua yang saya peroleh nomornya dari seorang kerabat yang berkuliah di FISIP Unsyiah.

Setelah saling membalas pesan singkat, kami sepakat untuk segera bertemu di kantin Asrama Koperasi Mahasiswa Unsyiah di jalan Inong Balee Darussalam, Banda Aceh. Sampai disana setelah memarkirkan sepeda motor di depan kantin, tampak seorang pria berbadan gelap, berambut kriting khas Papua, serta berhidung mancung, sedang duduk seorang seperti sedang menunggu seseorang.

Saya langsung menuju ke arahnya dan berjabat tangan dengannya. Pria hitam manis manis ini dengan headset yang tetap dipasang ditelinganya, jaket berwarna biru dengan lambang pemerintah Papua di sebelah kiri jaket tersebut membuatnya terlihat gagah dan sangat Papua. 

Nama pria bertubuh mungil itu Elfis Yosua Trukna, salah seorang mahasiswa Papua yang dikirim oleh Kementerian Pendidikan Nasional melalui Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) dari Papua untuk belajar ke Universitas Syah Kuala. Ia masih terhitung belia di kampusnya, semester satu di jurusan Ekonomi Akutansi. Ia tak sendiri di Banda Aceh, pria yang biasa disapa Eli ini bersama 19 teman lainnya sesama Papua menyeberang ribuan kilometer untuk belajar di Negeri Serambi Mekkah.

“Sebenarnya ada 30 orang yang akan diberangkatkan, tapi karena ada yang takut dengan tsunami dan takut dengan perbedaan agama makanya 10 orang tidak berani kesini karena tidak diizinkan orang tuanya,” kata lelaki kelahiran 10  Oktober 1992 ini di kantin Askopma, Kamis, (6/12/2012) malam.

Namun Elfis berbeda dengan teman-temannya yang lain yang keder pindah ke Nanggroe Serambi Mekkah. Ia menganggap meski mayoritas penduduk Aceh Muslim, namun Aceh sama seperti di Papua. Kesamaan yang ia maksud diantaranya adalah perihal komposisi pemeluk agama.

Jika di Papua, agama yang dianut masyarakat disana tidak ada yang diatas atau dibawah, melainkan sama. Muslim 50 persen serta Kristen 50 persen.  “Meski disini mayoritas Muslim, namun tetap saja mereka toleransi terhadap kami, disana juga banyak mesjid-mesjid seperti disini,”kata anak dari Efraim Trukna dan Yohana Alimdam ini.

Selain itu, kesamaan yang lainnya ialah di Aceh dulu sempat lahir Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang kini telah berdamai dengan pemerintah RI. Di Papua saat ini juga mempunyai sebuah gerakan yang ingin memerdekakan Papua dari Indonesia, yaitu Organisasi Papua Merdeka (OPM).

“Ya saya anggap Papua dan Aceh itu sama, masyarakatnya juga ramah-ramah, tidak seperti saat saya berada di Jawa dulu,” katanya mulai menceritakan masa kelamnya saat di Yogyakarta.

Eli sempat menikmati bangku sekolahnya di SMAN 1 SMAPTA, Yogyakarta mulai kelas satu hingga tamat. Selama tiga tahun tersebut, ia terkadang menerima perlakukan yang tak mengenakan dari orang-orang disana. Terkadang dia dicemooh, dilirik hingga diteror oleh orang-orang baik yang ia kenal maupun yang tidak ia kenal.

“Kadang-kadang ada yang bilang, Woi OPM kau ya, gak bakal merdeka kau,” katanya memperagakan bagaimana seseorang berkata kepadanya saat di Yogya.

“Di  Aceh tidak begitu, di kampus pun saya berasa seperti artis karena teman-teman baik kepada saya, mungkin karena mereka belum pernah bertemu dengan orang Papua sebelumnya,” tambah anak pertama dari empat bersaudara itu tertawa lebar.

Kehidupan di Aceh bagi pria ramah ini begitu menyenangkan, dengan budayanya, masyarakatnya hingga kebiasaan orang-orang Aceh dalam kesehariannya. Namun yang paling menarik bagi Eli terhadap Aceh ialah saat sedang di rumah makan atau warung kopi dimana kebiasaan orang Aceh selalu berlama-lama disana walau hanya untuk minum kopi.

“Lucu, saya dulu di Papua selesai makan minum langsung pergi karena nantinya akan ada orang lain lagi yang akan duduk disana. Tapi disini bisa santai-santai dulu selesai makan atau minum, suka saya,” katanya memasang wajah senang.

Selain itu penyuka mie Aceh ini mengatakan orang-orang di provinsi paling ujung Sumatera ini sangat ramah dan sangat bersahabat bahkan dengan orang asing baik dalam maupun luar negeri.

“Saya terkejut dan tertawa saat pertama membeli makanan di Aceh, sangat murah. Sekali makan saja hanya perlu uang sebesar Rp 10 ribu, tapi kalau di Papua sana tidak cukup Rp 10 atau Rp 20 ribu tetapi Rp 100 ribu,” kata Eli sambil tersenyum.

Namun dibalik nilai positif yang ia rasakan, ada satu hal yang membuat pria asal Sumtamon, kabupaten Pegunungan Bintang provinsi Papua ini kebingungan saat berada di Aceh.

“Saat saya tiba di Aceh saya bingung begitu, kami di Papua setiap hari Jumat dan Minggu libur karena itu kan hari besar untuk Muslim (Jumat) dan Kristen (Minggu), jadi bisa saling menghargai satu sama lain, sederajat begitu,” katanya dengan aksen Papua yang khas.

Ia juga mengeluh tentang fasilitas yang ia terima dari pemerintah Papua lantaran pemerintah tidak memberikan fasilitas belajar yang memadai seperti meja belajar. Ditambah lagi pengiriman uang baik dari pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten sering terlambat hingga satu bulan lebih. Padahal pemerintah telah berjanji akan memberikan fasilitas lengkap kepada para mahasiswa Papua yang kuliah di luar Papua.

“Kami terima uang beasiswanya dalam tiga tahap, dari Dikti Rp 800 ribu, Provinsi Papua Rp 1,2 juta dan dari kabupaten Pegunungan Bintang Rp 5,5 juta untuk setiap bulannya, tapi sering terlambat, punya yang bulan November pun belum dikirim,” katanya. 

Eli yang dipercayakan sebagai Ketua untuk mahasiswa Papua yang belajar di Unsyiah ini adalah salah satu putera Papua dari  747 mahasiswa yang dikirim ke universitas diluar Papua dan disebarkan ke seluruh universitas negeri di Indonesia. Mereka dikirim melalui program Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), dididik keluar Papua agar di masa mendatang bisa membangun provinsi mereka dengan lebih baik.

Selain itu, sebelum para calon sarjana menuju ke kampus yang telah ditentukan, mereka juga menandatangani nota kesepakatan (MoU) antara setiap mahasiswa dengan Dikti. Dan yang lebih menjanjikan lagi, 747 orang yang dikirim usai menjadi sarjana maka dijamin mendapat pekerjaan sesuai perjanjian. Eli sendiri punya cita-cita menjadi wakil rakyat di negerinya nanti seusai menuntut ilmu.

Awal tahun 2012 lalu, Eli disarankan oleh salah seorang pamannya dari partai Nasional Demokrasi (Nasdem) yang menjadi salah seorang anggota DPRD Pegunungan Bintang, untuk masuk menjadi anggota partai yang diketuai oleh Surya Paloh tersebut sehingga Elfis bisa masuk menjadi anggota DPRD nantinya usai menjadi sarjana.

Eli tak diizinkan orang tuanya untuk kembali ke Papua kecuali sudah mendapat gelar sarjana. “Pokoknya pulang ke Papua kalau sudah jadi sarjana jadi langsung kerja,” katanya mengulang kalimat yang disampaikan oleh sang ayah untuknya.

Meski kerinduannya sangat besar terhadap keluarganya yang berada di ujung timur Indonesia itu, selain karena orang tuanya, Eli juga mengingat ongkos yang harus ia keluarkan hampir mencapai Rp 7,5 juta untuk sekali pulang sehingga ia mengurungkan niatnya untuk kembali ke kampung tercinta. “Lagian saya senang dengan Aceh,” katanya sambil tertawa dan membuang puntung rokok yang sejak tadi dihisapnya.
[004]

Article source: http://www.merdeka.com/peristiwa/din-syamsuddin-ingin-saudagar-muslim-kuasai-sudirman-thamrin.html


'Di Kampus Saya Berasa Seperti Artis'

0 comments :

Post a Comment