Sunday, February 24, 2013

Imlek dan Cap Go Meh

Imlek dan Cap Go Meh

Oleh : H. Sutan Zaili Asril

Wartawan Senior

Padang Ekspres • Minggu, 24/02/2013 04:02 WIB • 103 klik

H. Sutan Zaili Asril

ADALAH Cap Go Meh (juga disebut Festival Lentera/Lantern Festival) melambangkan hari ke-15 dan hari terakhir dari perayaan Tahun Baru Imlek di lingkungan  komunitas Tionghoa di seluruh dunia. Istilah ini berasal dari dialek Hokkien dan secara harafiah berarti hari kelima belas dari bulan pertama (Cap atau chap berarti Sepuluh, go berarti lima, dan meh berarti malam). Ini juga berarti, masa perayaan Tahun Baru Imlek yang berlangsung selama lima belas hari. Perayaan Cap Go Meh lazimnya dira­ya­kan dengan jamuan/makan besar dan berbagai kegiatan lainnya. Di Taiwan, misalnya, Cap Go Meh dirayakan sebagai Festival Lampion (Lantern Festival). Sedang di Asia Tenggara, Cap Go Meh dikenal sebagai hari Valentine Tionghoa, ketika perempuan/gadis yang belum menikah berkumpul bersama dan melemparkan jeruk ke dalam laut—suatu adat yang berasal dari Penang, Malaysia.

 

Perayaan Cap Go Meh di Indonesia (di Kota Makassar, misalnya) diadakan secara rutin tiap setahun sekali. Di hari perayaan Cap Go Meh, daerah pecinaan Kota Makassar akan ditutup untuk kendaraan sejak pukul 10.00 WITA pagi, namun prosesi perarakan Cap Go Meh atau yang biasa disebut Karnaval Budaya Nusantara dimulai pukul 14.00 WITA, wali kota Makassar melepas puluhan ekor burung. Perarakan (karnaval) Cap Go Meh diawali rombongan Bhinneka Tunggal Ika antara lain terdiri atas berbagai tokoh agama/masyarakat diikuti Dara/Daeng Makassar, terus ke Kelenteng Kwang Kong, masyarakat Kajang Bulukumba/Vihara Dharma Loka, kelompok adat Aluktudolo Tana Toraja/Kelenteng Xian Ma, kelompok adat Bone/Kelenteng Pan Ku Ong, dari Galesong Kabupaten Takalar/Vihara Dharma Agung, Komunitas Bissu dari Segeri/Kabupaten Pangkep/Ma­pan­bumi/Kelompok Adat Mappasili Pallawa/Vihara Girinaga. Terakhir di­tutup Yayasan Budha Tzu Chi mem­bersihkan sampah di sepanjang jalan dilalui rombongan prosesi. Hampir setiap klenteng mengarak dewa/dewi. Klenteng Kwan Kong mengarak Dewa Kwan Kong sebagai dewa perang dan Dewi Kwan Im sebagai pembawa cinta kasih. Vihara Dharma Loka mengarak Dewa Cho Sua Kong atau dewa pengo­batan, dan Klenteng Xian Ma mem­bawa Dewi Xian Ma.

 

Mungkin, semua kita sudah tahu, Cap Go Meh adalah hari raya penutupan rangkaian acara perayaan Tahun Baru Imlek (Tahun Baru Saka/Cina) yang dirayakan tiap tanggal 15 Chia Gwee dalam penanggalan Tionghoa (Imlek). Biasanya, saat itu terang bulan pertama pada tahun baru Imlek. Bagi kaum tani Tionghoa/China ini adalah hari yang penting. Mereka umumnya akan melakukan persiapan satu minggu (menyebar benih) yang ditanam dalam dua-tiga minggu kemudian. Mereka mela­ku­kan turun ke sawah dengan segala perhitungan—salah-salah mereka bisa ke­laparan. Para petani baru sem­bahyang cheng beng (untuk/men­yembah leluhur) setelah selesai ber­tanam padi. Tanaman padi mereka akan dipanen kelak saat summer pada 5-6 bulan kemudian. Padi ditumbuk menjadi beras sebulan setelah panen (bulan kedelapan—menjelang pera­yaan Imlek/Cap Go Meh berikutnya). Jadi, terang bulan Cap Go Meh adalah pesta mooncake dan diramaikan dengan harvest festival. Perayaan hari Cap Go Meh dimeriahkan dengan festival lampion, karnaval barong-liong (barongsai-liongsai), makan ketupat Cap Go Meh, dan berbagai perayaan lainnya.

 

AKAN HALNYA Tahun Baru Im­lek pula, aslinya Imlek atau Sin Tjia adalah sebuah perayaan yang dila­kukan para petani di Cina biasanya jatuh pada tanggal satu di bulan pertama di awal tahun baru. Perayaan berkaitan pesta para petani men­yam­but musim semi. Perayaan ini dimulai tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir tanggal 15 bulan pertama. Acara meliputi sembahyang Imlek, sem­bahyang kepada Sang Pencipta, dan perayaan Cap Go Meh. Tujuan per­sem­bahyangan sebagai wujud syukur dan doa harapan agar tahun depan mendapat rezeki lebih banyak, men­jamu leluhur, dan sebagai sarana silaturahmi dengan kerabat dan te­tangga. Karena perayaan Imlek berasal dari budaya petani, segala bentuk persembahan berupa berbagai jenis makanan. Tiap acara sembahyang Imlek disajikan minimal 12 macam masakan dan 12 macam kue mewakili lambang-lambang shio yang berjumlah 12. Di Cina, hidangan wajib adalah mie panjang umur (siu mi) dan arak. Di Indonesia, yang dipilih adalah hidangan mempunyai arti kemak­muran, panjang umur, keselamatan, atau kebahagiaan, yang merupakan hidangan kesukaan leluhur.

 

Kue-kue yang dihidangkan akan lebih manis daripada biasa. Diha­rap­kan, kehidupan di tahun mendatang menjadi lebih manis. Juga dihi­dang­kan kue lapis sebagai perlambang rezeki berlapis-lapis. Kue mangkok dan kue keranjang merupakan ma­ka­nan wajib dihidangkan di saat per­sembahyangan menyambut datang tahun baru Imlek. Biasanya, kue keranjang disusun ke atas dengan kue mangkok berwarna merah di bagian atasnya. Ini adalah sebagai simbol kehidupan manis yang kian menanjak dan mekar seperti kue mangkok. Ada makanan yang dihindari dan tak dihidangkan, misalnya bubur. Bubur tidak dihidangkan karena makanan ini lebih melambangkan kemiskinan. Kedua belas hidangan, lalu disusun di meja sembahyang yang bagian depan digantungi dengan kain khusus yang biasa bergambar naga berwarna merah. Pemilik rumah lalu berdoa memanggil para leluhurnya men­yantap hidangan disuguhkan.

 

Di malam tahun baru orang-orang biasa bersantap di rumah/di restoran. Se­lesai makan malam mereka bega­dang semalam suntuk dengan pintu rumah dibuka lebar-lebar agar rezeki bisa leluasa masuk ke rumah. Pada waktu ini disediakan camilan khas Imlek berupa kuaci, kacang, dan permen. Pada waktu Imlek, makanan yang tidak boleh dilupakan adalah kue lapis legit, kue nastar, kue semprit, kue mawar, dan manisan kolang-kaling. Agar pikiran jadi jernih, disediakan agar-agar yang dicetak seperti bintang sebagai simbol kehidupan yang terang. Tujuh hari sesudah hari Imlek dila­ku­kan persembahyangan kepada Sang Pencipta. Tujuannya adalah sujud kepadaNya dan memohon kehidupan yang lebih baik di tahun yang baru dimasuki. Lima belas hari sesudah Imlek dilakukan sebuah perayaan yang disebut Cap Go Meh. Warga keturunan Cina di Semarang, misalnya, mera­yakan dengan menyuguhkan lontong Cap Go Meh, terdiri dari lontong, opor ayam, lodeh terung, telur pindang, sate abing, dan sambal docang. Di Jakarta, menunya lontong, sayur godog, telur pindang, dan bubuk kedelai. Saat perayaan Imlek juga dirayakan ber­bagai macam keramaian, festival dan karnaval, yang menyuguhkan antara lain atraksi barongsai atau liongsai dan kembang api.

 

SEBETULNYA, kita—setidaknya seorang Cucu Magek Dirih—mele­takkan warga Cihna/keturunan Tiong­hoa sebagai/dalam perspektif warga negara Indonesia (UU Nomor 12/2006 tentang Warga Negara). Yang masih membuat perbedaan hanya keturunan—sebagai mana ada warga negara Indonesia keturuan Arab/keturunan India dan tentu saja berbe­da agama dan secara sub-etnik/suku bangsa (Jawa/Batak/Minang/Bugis, misalnya), serta beda budaya/adat/tradisi (dalam perspektif Bhinneka Tunggal Ika). Kita tidak dapat mem­vonis satu warga sebagai keturunan Arab/India/Cina sebagai tak memiliki hak/kewajiban yang berbeda. Setiap warga negara adalah sama, sama ada berbeda asal-usul (keturunan Arab/India/China, misalnya), atau berbeda suku bangsa (Jawa/Batak/Minang/Bugis dan lainnya, misalnya), dan atau beda agama (keturunan apa pun dan atau suku bangsa apa pun), tidak lagi menjadi masalah.

 

Misalnya, warga keturunan Tiong­hoa seperti pernah dikemukakan beberapa sahabat Cucu Magek Dirih dari Pondok, bukanlah keinginan mereka sejak dari dalam kandungan dilahirkan sebagai keturunan China—kalau mereka boleh/dapat memilih—kalau karena keturunan China lalu hak/kewajiban mereka didis­krimi­nasikan. Sama ada, warga RI ketu­runan Arab/keturunan India/ketu­runan Tionghoa bebas memeluk/menganut agama. Warga keturunan (Arab/India/China, misalnya) boleh jadi beragama Islam, Kristen, Budha, dan atau Hindu, serta Kong Hu Chu, misalnya—sama ada warga RI yang sub-etniknya Jawa/Batang/Minang/Bugis, misalnya, juga bebas memeluk agama diakui di Indonesia. Yang pasti semua warga negara (keturunan atau suku bangsa berbeda), sama-sama mempunyai hak dan kewajiban sama sebagai waarga negara.

 

Warga negara Indonesia ketu­runan China, misalnya, ada yang beragama Kong Hu Chu, Budha, Hindu, Kristen, dan atau Islam, sama halnya warga suku bangsa Jawa/Batak/Bugis, misalnya, memeluk agama-agama yang disebutkan. Kita tidak dapat melakukan sikap/perlakuan diskriminasi di antara sesama warga negara. Justru dalam perspektif/pandangan Cucu Magek Dirih, sebagaimana halnya kita di Padang ini dan atau provinsi Sumatra Barat, idealnya memandang warga negara Indonesia keturunan Tionghoa/Cina sebagai saudara dan memandang budaya dan adat/tradisi warga negara Indonesia keturunan China/Tionghoa sebagai kekayaan budaya Indonesia. Sejauh ini, justru warga keturunan China/Tionghoa yang tak banyak mengeluh karena masih diperlakukan berbeda/didiskriminasikan oleh warga negara Indonesia lainnya—tidak ter­ba­ya­ng­kan bilamana pemerintah daerah/aparat pemerintah daerah pula masih mendiskriminasi mereka pula? 

 

Mungkin akan dipandang berle­bihan oleh sebagian kita bilamana Cucu Magek Dirih mengatakan, sela­yak­nya kita di Padang menyemangati warga Pondok sekitarnya, misalnya, untuk merayakan tahun baru Imlek dan Cap Go Meh sebagai keramaian/kemeriahan dan atau festival/karnaval bagi saudara kita di Pondok—tidak ada halangan bagi mereka melakukan perayaan Imlek dan Cap Go Meh sebagai khazanah/kekayaan budaya bangsa Indonesia di Padang, tapi, juga menjadi sebagai khazanah/kekayaan dan daya tarik wisatawan datang. Kalau saja kita mendorong warga Pondok melakukan perayaan pesta tahunan Imlek/Cap Go Meh yang direncanakan dan dipersiapkan den­gan saksama/baik—sebagai agen­da pariwisata khas di Padang, misalnya, dipromosikan dengan gen­car, mu­ngkin menarik wiatawan datang ke Padang—sebagaimana Malaysia suk­ses mengembangkan agenda wisa­tanya dan sukses mendatangkan wistawan. (*)

[ Red/Administrator ]

Article source: http://artis.inilah.com/read/detail/1955737/diego-michiels-mualaf


Imlek dan Cap Go Meh

0 comments :

Post a Comment