Tuesday, February 5, 2013

Konsekuensi Mengusung Ideologi

Konsekuensi Mengusung Ideologi

Oleh : Jeffrie Geovanie

Founder The Indonesian Institute

Padang Ekspres • Selasa, 05/02/2013 11:46 WIB • 22 klik

Jeffrie Geovanie

Kecaman terhadap kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menjadi tersangka korupsi jauh lebih keras dari kader partai lain yang melakukan hal yang sama. Mengapa begitu? Mari kita lihat.

 

Setiap pilihan pasti ada konsekuensinya, begitu­pun saat memilih ideologi. Partai Demokrat di Ame­rika Serikat yang dalam tampilan publiknya saat ini diwakili oleh performance Presiden Barack Obama, pernah mendapatkan kritik keras dari lawan-lawan po­litiknya pada saat terlampau pe­duli dengan asuransi ke­sehatan masyarakat. Mungkin kita heran, kenapa peduli pada masyarakat kok malah di­kritik? Bukankah itu hal yang baik?

 

Peduli pada masyarakat itu baik, tapi bukan pakemnya Par­tai Demokrat yang beri­deologi liberal. Program asu­ransi ke­sehatan Barack Obama di­kritik karena membuat Par­tai Demokrat lebih mirip de­ngan Partai Republik. Itulah politik. Yang positif dan bermanfaat pun tetap dikritik jika dianggap tidak la­zim. Karena kepedulian negara yang tinggi pada na­sib masyarakat adalah kredo partai berhaluan kon­servatif.

 

Di Indonesia, partai-partai nyaris tanpa ideologi. Ka­laupun dianggap punya ideologi, tidak ada pe­r­bedaan signifikan antara yang satu dengan lainnya. Se­mua menyebut diri sebagai partai nasionalis, wa­laupun ada sebagian yang diberi embel-embel, “aga­mis” atau “demokrat”.

 

Semua partai politik ingin berada di wilayah “tengah”, dengan tujuan mau menarik simpati semua golongan. Bahkan PKS yang jelas-jelas berideologi Is­lam pun berusaha masuk ke “tengah”. Karena begitu kuatnya keinginan itu, belakangan partai ini mengu­sung semboyan “PKS untuk Semua”.

 

Kita menghormati pilihan itu sebagai bagian dari hak po­litik PKS. Tapi, sekali lagi, se­tiap pilihan punya kon­sekuensi, bisa po­sitif, bisa juga sebaliknya. Kon­sekuensi positifnya, PKS re­latif diterima semua kalangan, bah­­­kan di wilayah-wilayah mi­no­ritas Muslim, ada kader PKS yang non-Muslim. Mungkin karena upayanya yang terus ke tengah itulah, suara PKS terus me­ningkat, dari tujuh kursi pada Pe­milu 1999 (saat masih ber­nama PK) naik menjadi 45 kursi pada Pemilu 2004, dan naik lagi menjadi 57 kursi pada Pemilu 2009.

 

Apa dampak negatifnya? Secara perlahan namun pasti, PKS kian pudar dari political branding-nya sebagai partai dakwah, yang secara konotatif tak bisa lepas dari Islam yang cenderung fanatik. Kalau brand-nya hanya partai Islam tidak ber­beda dengan Partai Persa­tuan Pem­bangunan (PPP), Partai Ke­bangkitan Bangsa (PKB), atau Par­tai Amanat Nasional (PAN) yang tak bisa dilepaskan dari ba­sis massa Islam. Partai dak­wah, lebih dari sekadar Islam, tapi Islam yang lebih aktif mengajak un­tuk berislam secara kaffah (me­nyeluruh dalam semua as­pek kehidupan).

 

Ketika branding partai dak­wah memudar, dampaknya ne­gatif karena PKS menjadi sama saja dengan partai-partai Islam lain­n­ya yang cenderung men­ja­dikan agama hanya seba­tas ko­moditas politik yang pada ke­nyataannya tidak berbeda de­ngan partai-partai yang sama sekali tidak membawa-bawa nama agama.

 

Karena semakin me­mu­dar­nya ruh dakwah itu­lah, saya bisa memahami jika kader-ka­der PKS pun, dalam aktivitas po­li­tiknya, mulai nyerempet-nye­rem­pet pe­rilaku yang syubhat (di­ragu­kan kadar halal­nya), atau bah­kan mulai memasuki wi­layah yang haram, semisal ko­rup­si.

 

Maka pada saat ada kader PKS yang menjadi tersangka ko­rupsi, apalagi presidennya, pu­blik dibuat terkaget-kaget. Kok bisa ya, partai dakwah ko­rupsi? Pertanyaan ini datang ber­t­ubi-tubi menjejali ruang pu­blik, terutama di jejaring media sosial hingga “maaf” ada yang me­m­plesetkan singkatan PKS men­jadi “Partai Korupsi Sapi”. Duh!!

 

Menurut saya, inilah konse­kuen­si dari pilihan ideologi. Dari awal kelahirannya PKS memilih ideologi yang sensitif, yakni Islam. Saya sebut sensitif karena dalam terminologi Islam terda­pat muatan etika yang sangat ketat. Jika masuk wilayah politik, etika yang ketat ini akan mudah berbenturan dengan banyak perkara yang menurut Islam masuk dalam kategori haram.

 

Ketika ada kader PKS yang ter­jerat perbuatan haram (ko­rup­si), hantaman publik tentu jauh lebih keras. Mirip kasusnya se­­perti yang menimpa kader Par­­tai Demokrat. Bedanya, par­tai asuhan Presiden Susilo Bam­bang Yudhoyono ini dihan­tam ke­ras bukan karena ideologi yang diusungnya tapi lebih ka­rena iklan anti korupsinya yang sangat gencar. Intinya sama saja, kecaman publik muncul lan­ta­ran ada jurang antara apa yang di­usung dengan yang diker­jakan.

 

Sejatinya, apa pun nama dan ideologinya, setiap partai yang (ka­d­ernya) terlibat korupsi ha­rus dikecam, untuk mem­berikan efek jera. Kecaman terhadap PKS berbeda (jauh lebih keras) di­­s­­ebabkan karena kebe­ra­nian­nya mengusung ideologi aga­ma yang secara doktrinal melarang keras menyuap atau menerima suap. Wallahu a’lam! (*)

 

[ Red/Administrator ]

Article source: http://www.metrotvnews.com/read/newsvideo/2012/12/30/167640/Sweeping-FPI-di-Lepau-Tuak-Mendapat-Perlawanan/6


Konsekuensi Mengusung Ideologi

0 comments :

Post a Comment