Konsekuensi Mengusung Ideologi
Oleh : Jeffrie Geovanie
Founder The Indonesian Institute
Padang Ekspres • Selasa, 05/02/2013 11:46 WIB • 22 klik

Kecaman terhadap kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menjadi tersangka korupsi jauh lebih keras dari kader partai lain yang melakukan hal yang sama. Mengapa begitu? Mari kita lihat.
Setiap pilihan pasti ada konsekuensinya, begitupun saat memilih ideologi. Partai Demokrat di Amerika Serikat yang dalam tampilan publiknya saat ini diwakili oleh performance Presiden Barack Obama, pernah mendapatkan kritik keras dari lawan-lawan politiknya pada saat terlampau peduli dengan asuransi kesehatan masyarakat. Mungkin kita heran, kenapa peduli pada masyarakat kok malah dikritik? Bukankah itu hal yang baik?
Peduli pada masyarakat itu baik, tapi bukan pakemnya Partai Demokrat yang berideologi liberal. Program asuransi kesehatan Barack Obama dikritik karena membuat Partai Demokrat lebih mirip dengan Partai Republik. Itulah politik. Yang positif dan bermanfaat pun tetap dikritik jika dianggap tidak lazim. Karena kepedulian negara yang tinggi pada nasib masyarakat adalah kredo partai berhaluan konservatif.
Di Indonesia, partai-partai nyaris tanpa ideologi. Kalaupun dianggap punya ideologi, tidak ada perbedaan signifikan antara yang satu dengan lainnya. Semua menyebut diri sebagai partai nasionalis, walaupun ada sebagian yang diberi embel-embel, “agamis” atau “demokrat”.
Semua partai politik ingin berada di wilayah “tengah”, dengan tujuan mau menarik simpati semua golongan. Bahkan PKS yang jelas-jelas berideologi Islam pun berusaha masuk ke “tengah”. Karena begitu kuatnya keinginan itu, belakangan partai ini mengusung semboyan “PKS untuk Semua”.
Kita menghormati pilihan itu sebagai bagian dari hak politik PKS. Tapi, sekali lagi, setiap pilihan punya konsekuensi, bisa positif, bisa juga sebaliknya. Konsekuensi positifnya, PKS relatif diterima semua kalangan, bahkan di wilayah-wilayah minoritas Muslim, ada kader PKS yang non-Muslim. Mungkin karena upayanya yang terus ke tengah itulah, suara PKS terus meningkat, dari tujuh kursi pada Pemilu 1999 (saat masih bernama PK) naik menjadi 45 kursi pada Pemilu 2004, dan naik lagi menjadi 57 kursi pada Pemilu 2009.
Apa dampak negatifnya? Secara perlahan namun pasti, PKS kian pudar dari political branding-nya sebagai partai dakwah, yang secara konotatif tak bisa lepas dari Islam yang cenderung fanatik. Kalau brand-nya hanya partai Islam tidak berbeda dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), atau Partai Amanat Nasional (PAN) yang tak bisa dilepaskan dari basis massa Islam. Partai dakwah, lebih dari sekadar Islam, tapi Islam yang lebih aktif mengajak untuk berislam secara kaffah (menyeluruh dalam semua aspek kehidupan).
Ketika branding partai dakwah memudar, dampaknya negatif karena PKS menjadi sama saja dengan partai-partai Islam lainnya yang cenderung menjadikan agama hanya sebatas komoditas politik yang pada kenyataannya tidak berbeda dengan partai-partai yang sama sekali tidak membawa-bawa nama agama.
Karena semakin memudarnya ruh dakwah itulah, saya bisa memahami jika kader-kader PKS pun, dalam aktivitas politiknya, mulai nyerempet-nyerempet perilaku yang syubhat (diragukan kadar halalnya), atau bahkan mulai memasuki wilayah yang haram, semisal korupsi.
Maka pada saat ada kader PKS yang menjadi tersangka korupsi, apalagi presidennya, publik dibuat terkaget-kaget. Kok bisa ya, partai dakwah korupsi? Pertanyaan ini datang bertubi-tubi menjejali ruang publik, terutama di jejaring media sosial hingga “maaf” ada yang memplesetkan singkatan PKS menjadi “Partai Korupsi Sapi”. Duh!!
Menurut saya, inilah konsekuensi dari pilihan ideologi. Dari awal kelahirannya PKS memilih ideologi yang sensitif, yakni Islam. Saya sebut sensitif karena dalam terminologi Islam terdapat muatan etika yang sangat ketat. Jika masuk wilayah politik, etika yang ketat ini akan mudah berbenturan dengan banyak perkara yang menurut Islam masuk dalam kategori haram.
Ketika ada kader PKS yang terjerat perbuatan haram (korupsi), hantaman publik tentu jauh lebih keras. Mirip kasusnya seperti yang menimpa kader Partai Demokrat. Bedanya, partai asuhan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini dihantam keras bukan karena ideologi yang diusungnya tapi lebih karena iklan anti korupsinya yang sangat gencar. Intinya sama saja, kecaman publik muncul lantaran ada jurang antara apa yang diusung dengan yang dikerjakan.
Sejatinya, apa pun nama dan ideologinya, setiap partai yang (kadernya) terlibat korupsi harus dikecam, untuk memberikan efek jera. Kecaman terhadap PKS berbeda (jauh lebih keras) disebabkan karena keberaniannya mengusung ideologi agama yang secara doktrinal melarang keras menyuap atau menerima suap. Wallahu a’lam! (*)
[ Red/Administrator ]
Article source: http://www.metrotvnews.com/read/newsvideo/2012/12/30/167640/Sweeping-FPI-di-Lepau-Tuak-Mendapat-Perlawanan/6
Konsekuensi Mengusung Ideologi
0 comments :
Post a Comment