Melunasi Utang Sosial
Oleh : H. Sutan Zaili Asril
Wartawan Senior
Padang Ekspres • Minggu, 17/02/2013 04:38 WIB
PENYELESAIAN suatu tahapan proses berkehidupan — apalagi satu tahapan cukup penting, rupa-rupanya, lebih dari sebatas psikologis (hendak mengatakan pada diri sendiri bahwa satu tahap kehidupan cukup penting sudah didapat/mampu diselesaikan, dan keluarga ikut berbahagia). Entah di dalam perspektif lingkungan sosial pula, penyelesaian suatu tahapan proses kehidupan memiliki nilai — seakan sekaligus menunaikan suatu beban tanggungjawab sosial. Ibaratnya nilai/beban tanggungjawab sosial adalah utang, penyelesaian satu tahapan proses kehidupan yang penting terasa menjadi/dirasakan sebagai sudah membayarkan utang—utang ke lingkungan (keluarga dan masyarakat yang mengenal diri kita). Sebagai makhluk h sosial dan atau sebagai khalifah di muka bumi, manusia, dalam pemahaman Cucu Magek Dirih, memang memiliki nilai/beban tanggungjawab sosial pada keluarga dan masyarakat lingkungannya.
Masalahnya, kemudian, setidaknya sejauh menurut Cucu Magek Dirih, ada sebagian kita yang memahami/memiliki perspektif dan kesadaran tentang nilai/beban tanggungjawab sosial yang harus ditunaikan, dan sebagian kita yang lain pula tidak memahami/memiliki perspektif dan kesadaran tentang nilai/beban tanggungjawab sosial tersebut — secara keras dan kasar bahwa orang demikian disebut egois/hanya memikirkan diri sendiri (keberadaan orang lain pun dipandang hanya untuk dirinya) atau sebagai tidak memiliki kepekaan/kepedulian terhadap masyarakat lingkungannya atau a-sosial. Terlebih pada masyarakat yang memiliki nilai bersama tentang kolegial/kekeluargaan — betapa pun negara mengakui keberadaan hak individu pun! Nilai/penilaian masyarakat lingkungan terhadap diri seseorang atau tingkah lakunya atau perbuatan seseorang menjadi perlu dan penting — tergantung seseorang tadi memiliki perpektif tentang nilai/beban tanggungjawab sosial itu.
Secara spesifik, seorang anak tidak dapat mengabaikan keberadaan dan peranan dari kedua orang tuanya, misalnya, dan tidak dapat mengabaikan keberadaan/peranan/penilaian masyarakat lingkungannya. Pada masyarakat Minangkabau, selain kesadaran tentang ada/keberadaa dari para pemuka masyarakat/tetua adat yang harus dihormati/kata dan nasehatnya harus didengar dan dilaksanakan, juga ada nilai/beban tanggungjawab sosial terhadap masyarakat lingkungan suku/korong/nagari, misalnya. Bilamana di dalam paruik/suku dan atau korong/nagari ada kegiatan bersama, maka seseorang yang menjadi warga paruik/suku dan atau warga korong/nagari otomatis mempunyai nilai/beban tanggungjawab sosial yang harus mereka tunaikan. Katakanlah kenduri pernikahan dan atau berita kematian — kaba baik baimbauan (memberi tahu/mengundang)/kaba buruak baambauan (kalau tahu harus datang tanpa diberitahu/diundang pun!).
Sedang dalam kehidupan, ada pekerjaan/tugas dan atau nilai/beban dari pekerjaan/tugas yang sebetulnya lebih pada diri sendiri, tapi, rupanya juga memiliki nilai/beban sosial untuk menunaikannya. Misalnya, mamak (bersama sumandonya) bertanggungjawab segala sesuatu di atas rumahnya (mencarikan suami bagi anak/kemanakan; rumah gadang katirisan — juga membangun rumah bagi keluarga; dan mayik tabujua di ateh rumah/harus menyelenggarakan proses memandikan dan menguburkan mayat), misalnya. Karna seseorang dikenal/cukup dikenal secara luas, maka segala sesuatu pada diri seseorang itu menjadi milik masyarakat lingkungan — seakan masyarakat lingkungan berhak mengetahui/menanyakan/mempersoalkan satu hal atau beberapa hal (tugas/pekerjaan/kegiatan) berkaitan dengan diri seseorang. Suka atau tidak suka, masyarakat lingkungan akan mengetahui atau menanyakan atau bahkan mempertanyakannya
BEGITULAH yang dialami/dilalui Cucu Magek Dirih dengan penyelesaian pendidikan degree strata-1 di jurusan pendidikan bahasa Arab Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol (PBA-Faktar-IAIN-IB) Padang. Bahwa sebagai mahasiswa pada jurusan PBA-Faktar-IAIN-IB Padang angkatan tahun 1974, Cucu Magk Dirih sudah diwisuda jadi sarjana muda (1978). Sesuai kebijakan otoritas pendidikan tinggi Kemenag saat itu, tingkatan pendidikan tinggi dilanjutkan ke doktoral I dan doktoral II — saat itu belum ada sistem kredit semester. Tahun 1979, Cucu Magek Dirih menyelesaikan doktoral II pada jurusan PBA-Faktar-IAIN-IB Padang — kecuali ujian dua mata kuliah doktoral I/II mata kuliah ilmu hadits dan ilmu tafsir yang dosennya Drs. H. Sanoesi Latief (saat itu Rektor IAIN-IB Padang). Ujian ilmu hadits dan ilmu tafsir doktoral I (1978) belum dibolehkan Sanoesi Latief karena pekerjaan sebagai staf/pegawai honor (Pj. Sekretaris) pada Lembaga Bahasa dan permintaan beliau agar melengkapi persyaratan untuk diajukan jadi pegawai negeri sipil (PNS) golongan lulusan sarjana muda belum diselesaikan.
Sebetulnya, juga karena konsekuensi logis dari keterlibatan Cucu Magek Dirih sebagai salah seorang aktivis mahasiswa. Setelah Pangkopkamtib Laksamana TNI Soedomo membekukan lembaga student goberment/organisasi intrakampus dewan mahasiswa (DM) — masih mempertahankan senat-senat mahasiswa (SM) di fakultas-fakultas (1978), Cucu Magek Dirih terlalu berani menyelenggarakan pertemuan/mengumpulkan para aktivis pengurus DM — juga dari Universitas Andalas dan IKIP Padang di laboratorium Lembaga Bahasa IAIN IB Padang (di mana Cucu Magek Dirih jadi pegawai honorer) Sabtu atau Minggu. Lalu, Cucu Magk Dirih diketahui mengadakan pembicaraan dengan para pengurus senat-senat mahasiswa di lingkungan IAIB IB Padang. Ia ditangkap Laksusda/Kodam III 17 Agustus Sumbar/Riau — Rektor Sanoesi meneyerahkan Cucu Magek Dirih kepada dua perwira TNI berpakaian pereman yang datang menjemput ke kampus Sudirman Padang.
Keluar dari tahanan Laksusda/Kodam III 17 Agustus Sumbar/Riau, Cucu Magek Dirih merasa ia selalu diawasi — ruang geraknya dibatasi. Lalu, terbuka peluang bagi Cucu Magek Dirih menjadi wartawan/koresponden di Harian Pagi Kompas Jakarta untuk daerah kerja provinsi Sumatera Barat. Koordinator wartawan/koresponden Harian Pagi Kompas wilayah Sumatera Barat/Riau memilih Cucu Magek Dirih untuk melalui masa percobaan tiga bulanan — singkatnya ia diterima menjadi wartawan/korespondn Kompas Jakarta daerah kerja di provinsi Sumatera Barat (1979). Bersamaan pula karena situasi politis tidak menguntungkan, Rektor Sanoesi digantikan caretaker Kol. Purn. Hasnawi Karim (saat itu ia menjabat Kepala Kanwil Depag Sumatera Barat). Situasi itu tak menguntungkan bagi penyelesaian studi Cucu Magk Dirih. Sampai akhirnya Cucu Magek Dirih dipindahkan kantor redaksinya menjadi wartawan/koresponden untuk wilayah provinsi Riau — termasuk wilayah provinsi Kepulauan Riau sekarang (1983).
Tadinya, Cucu Magek Dirih menyangka penyelesaian kesarjanaannya dapat dilakukan di IAIN Sutan Qasim di Pekanbaru. Rupanya, untuk jurusan PBA di Faktar IAIN Sutan Qasim Pekanbaru belum ada doktoral (baru sampai sarjana muda). Lalu, dari Pekanbaru Cucu Magek Dirih ditarik ke kantor redaksi Kompas Jakarta (1987) — persiapan ke Persda Kelompok Kompas Gramedia (KKG) menangani proyek kerjasama dengan Harian Umum Sriwijaya Post Palembang (1988-1990). Keluar dari Kompas/KKG, masuk ke Klompok Usaha Bakri (KUB) — menangani proyek Harian Umum Pelita Jakarta (1990-1992). Lalu, keluar. Masuk ke KUB lagi dan menangani Harian Umum Nusa Tenggara/sekaligus percetakannya. Akhir tahun 1998, return ke Padang, menangani Harian Pagi Padang Ekspres — terbit perdana pada 26 Januari 1999. Sejak itu terbuka kembali peluang Cucu Magek Dirih menyelesaikan kesarjanaan-lengkapnya.
ALHAMDULILLAH — atas penyelesaian kesarjanaan di jurusan PBA-Faktar-IAIN-IB Padang (munaqasah skripsi judul “Istikhdamu Kasaili al-I’lami Kawasailatun Tarabawiyatun fi Tanmiyati ath-Thaaqaati at-Ta’alamiyati Lillungati al-’Arabiyah, sejumlah kesalahpahaman terhadap kesarjanaan Cucu Magek Dirih sudah dapat dijawab/diatasi. Selama ini, ada sejumlah kenalan/masyarakat yang menganggap Cucu Magek Dirih lulusan strata-1 (sarjana) — bahkan ada yang tidak percaya bilamana dijelaskan bahwa Cucu Magek Dirih adalah orang surau dan atau karena penampilan/jabatan Cucu Magek Dirih memimpin beberapa perusahaan lalu menganggap dirinya sarjana ekonomi. Kini, nilai/beban tangungjawab sosial dari Cucu Magek Dirih menerima anggapan/penilaian beberapa pihak tentang pendidikan tinggi/kesarjanaannya dapat dijawab — ibaratnya hutang sudah dapat dilunasinya.
What ever, sekarang Cucu Magek Dirih memang seorang lulusan strata-1 (sarjana lengkap) untuk jurusan pendidikan bahasa Arab Faktar-IAIN-IB Padang — walaupun sertifikat sarjana tersebut tak akan digunakan jadi PNS. Andai masih ada pihak/kenalan yang menyangka/menganggap dan atau menulis nama Cucu Magek Dirih yang menambahkan “drs” atau “SE”, tentu beban morilnya tidak seberat semula — sesungguhnya Cucu Magek Dirih adalah seorang surau yang semestinya menjadi guru bahasa Arab madrasah aliyah/sekolah menengah atas/sederajat. Bukan sarjana ilmu politik dan atau ilmu ekonomi yang selama ini dianggap oleh sebagian — terutama saat Cucu Magek Dirih bertugas/jadi pemakalah di Jakarta/di Palembang Sumatera Selatan dan sekitarnya/di Denpasar Bali dan sekitarnya atau di tempat-tempat lainnya.
Akhirnya, di atas segalanya, Cucu Magek Dirih bersyukur kepada Allah — alhamdulillah hamdan jiddan, dan berterima kasih pada keluarganya. Khususnya isterinya Desnayetti yang menguruskan segala hal berkaitan dengan penyelesaian kuliah enam sistem kredit semester tambahan satu semester — karena di doktoral tahun 1978-1979 dahulu mata kuliah itu tak ada, mengurus makalah/tugas diberikan dari dosen, mengikuti ujian kompre, penulisan/perbanyakan naskah skripsi — mencari/mengumpulkan buku dan dokumen diperlukan untuk penulisan skripsi dan berkonsultasi dengan dosen pembimbing (Cucu Magek Dirih belum pulih dari sakit), dan kepada ibunya, Saribanun. Cucu Magek Dirih menyampaikan terima kasih kepada dua dosen pembimbing Prof. Dr. Armen Mukhtar dan Dr. Reihani M. Ag, kepada dekan Prof. Dr. H. Duski Samad MA, penguji Prof. Dr. Masnal Jazuly M.Ag dan Drs. Lokot Nasution M.Ag.***
[ Red/Administrator ]
Melunasi Utang Sosial
0 comments :
Post a Comment