Narkoba terus mengintai dan membunuh. Kita tak bisa menutup mata dan lantas bergeming ketika melihat betapa kehidupan sekitar kita saat ini masih diincar oleh obat-obatan terlarang itu. Kehidupan yang tiba-tiba menjadi hancur berantakan disertai kematian mengenaskan. Itu hanya potret kecil betapa narkoba terus meneror. Meski tak henti diperangi dari waktu ke waktu bagaikan musuh, penyalahgunaan narkoba masih terjadi dimana-mana.
Fakta Kasus Narkoba
Belum lama ini kita semua dikejutkan berita tertangkapnya seorang artis papan atas, Rafi Ahmad, pada Minggu (27/1) pukul 06.00 wib di kawasan Lebak Bulus Jakarta Selatan oleh pihak Badan Narkotika Nasional (BNN) karena kedapatan mengkonsumsi narkoba (entertainment .kompas.com 27/1).
Tertangkapnya Rafi, mengindikasikan bahwa narkoba bisa “mengincar”siapa saja, bahkan publik figur sekalipun. Kita tentunya belum lupa dengan sederet nama seperti Roy Marten, Sheila Marcia, Kaka Slank, Andika Kangen Band, yang juga menjadi korban barang haram tersebut. Mereka ikut menambah deretan nama-nama pengguna narkoba di negeri ini.
Hasil Penelitian BNN tahun 2011, menemukan fakta bahwa jumlah pengguna narkoba Indonesia mencapai 3,8 juta orang (tempo.com 15/3/12). Di Aceh, realitas kasus narkoba juga tak sedikit. Selama 2012, kepolisian Daerah menangani sampai 999 kasus narkotika, jumlah tersebut meningkat drastis dibanding tahun 2011 yang berjumlah 605 kasus. Kenyataan ini menempatkan Aceh pada peringkat ke empat sebagai provinsi terbanyak kasus penyalahgunaan dan kelompok pemakai narkoba di Indonesia (waspadamedan.com,30/1).
Aceh yang konon memiliki “benteng” syariat islam, bisa menempati posisi ke empat dari pengguna narkoba terbanyak di Indonesia. Pertayaannya, apa yang sudah terjadi dengan kita? Apakah syariat tidak berfungsi dengan baik dalam mendidik moral masyarakat?
Melihat fenomena ini, penulis berasumsi bahwa narkoba semakin dekat dengan kita, bahkan sedang dan akan terus mengintai kita. Presentase di atas bukan tidak mungkin sewaktu-waktu semakin bertambah. Lantas masihkah kita hanya berdiam diri? siapa yang patut disalahkan atas semua ini?
Media, Hedonisme dan Degradasi Moral
Kita memang tak perlu menunjuk hidung siapapun untuk saling menyalahkan. Kita hanya perlu jujur terhadap diri sendiri bahwa kita semua lah“tersangka” yang harus ikut bertanggung jawab atas realitas ini.
Tanpa disadari, pola hidup yang kita jalani saat ini semakin Hedonis (hanya mengejar kesenangan semata-mata) bahkan terkadang jauh dari syariat islam. Setiap kebiasaan, tontonan, bacaan, dan gaya pergaulan hanya “menuhankan” hura-hura. Sisi “manusia” kita terkadang lenyap, dan moral terlupakan begitu saja. Berbagai peluang negatif dan pengaruh dari hal-hal yang tidak bermanfaat masuk dengan mudah dan menyerang kehidupan kita.
Kontruksi budaya baru akibat majunya teknologi informasi dan komunikasi pun terkadang menggiring masyarakat ke arah hal-hal negatif. Ketidakberdayaan dan ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapi arus kemajuan tersebut dengan sikap yang dewasa, akhirnya melahirkan krisis identitas. Masyarakat menjadi “galau” dan kehilangan benteng diri, sehingga berbagai pengaruh negatif yang ditahbiskan oleh teknologi dan media dengan mudahnya diterima. Termasuk salah satunya menjadi terperangkap dalam jerat narkoba.
Kita lihat saja bagaimana memprihatikannya pola kehidupan para remaja saat ini, tak terkecuali remaja Aceh. Berbagai sikap-sikap yang cendrung hedonis dipertontonkan oleh media, dan remaja menirunya. Dari mulai gaya berpakaian yang dituntut fashionable dengan gaya kebarat-baratan, cara berkomunikasi yang dituntut “gaul”dengan gadget-gadget canggih, hingga pergaulan bebas laki-laki dan perempuan yang menjerumuskan pada narkoba dan seks bebas. Semuanya dicontohkan oleh media, salah satunya televisi.
Jika hal ini kita kaitkan dengan teori, maka fenomena ini sejalan dengan sebuah gagasan yang dikemukakan salah seorang pakar komunikasi, George Gerbner , melalui Teori Kultivasi. Gebner menjelaskan bahwa pengaruh media massa (televisi) sangat besar bagi khalayak, dimana kehadirannya akan membentuk suatu kebudayaan baru. Itu sebabnya,budaya-budaya yang berkiblat hedonis pun menjadi budaya baru di masyarakat kita.
Menurut Teori Kultivasi ini, televisi menjadi media atau alat utama dimana para penonton televisi belajar tentang masyarakat dan kultur di lingkungannya. Dengan kata lain, persepsi apa yang terbangun di benak pemirsa tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak pemirsa dengan televisi, mereka belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai (nilai sosial) serta adat dan tradisi nya.
Mencerdasi pengaruh media
Kesimpulannya, pengaruh negatif media massa tanpa kita sadari telah menumbuhkan sikap hedonis, krisis moral dan krisis identitas dalam lingkungan masyarakat. Ketika masyarakat “galau” saat itulah narkoba begitu mudah mengintai lalu menghancurkan korbannya.
Penyalahgunaan narkoba yang kini mulai marak, terutama di Aceh yang notabene bersyariat islam ini perlu segera diwaspadai, karena hal itu tidak hanya akan merusak generasi Aceh untuk kedepan, tetapi juga meruntuhkan pilar-pilar syariat.
Potret negatif dari Globalisasi yang ditampilkan media massa saat ini terutama televisi sangat berbahaya jika tak difilter dengan baik. Pendidikan dan ilmu agama serta kedewasaan dalam menyikapi globalisasi dan perkembangan media sangat diperlukan. Masyarakat harus dididik untuk peka dalam mengamati tindak tanduk media dan bijak menerima pengaruhnya.
Perlu diingat bahwa siapapun akan diintai oleh narkoba. Untuk itu kita harus mempersiapkan diri untuk menghalanginya agar kita tidak menjadi korban-korban berikutnya.
***
Penulis adalah mahasiswi Ilmu Komunikasi Unimal dan Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara Angkatan III
Article source: http://celebrity.okezone.com/read/2013/02/07/33/758512/nikita-willy-bahagia-diego-michiels-masuk-islam
Narkoba Masih Mengintai Kita
0 comments :
Post a Comment