Monday, March 25, 2013

Peluru Kaliber 7,62 MM, Polisi-TNI Memiliki

JAKARTA – Penyerbuan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan, Sleman, Jogjakarta,yang menewaskan 4 tahanan merupakan teror terhadap publik, hukum dan negara. Apalagi hingga tiga hari berlalu, aparat belum bisa mengidentifikasi pelaku.

Polisi sendiri memastikan ukuran peluru yang ditemukan di LP Cebongan memiliki kaliber 7,62 milimeter (MM). Peluru kaliber 7,62 memang merupakan peluru dari senjata laras panjang yang biasa digunakan untuk kebutuhan keamanan di suatu negara.

Di Indonesia, TNI dan Polri yang memiliki senjata berpeluru jenis ini. Pihak sipil bisa memilikinya, tapi harus mengantongi surat kepemilikan khusus.

“Sebenarnya soal kaliber memang tidak bisa dituduhkan itu punya siapa, namun memang biasanya peluru dengan kaliber seperti itu merupakan milik TNI atau pun Polri,” ujar pengamat militer Mufti Makarim, Selasa (26/3). 

Sekadar diketahui, bukti-bukti mulai ditemukan di tempat kejadian perkar, itu misalnya 31 selongsong peluru kaliber 7,62 milimeter.Menurut penelusuran, senjata laras panjang dengan kaliber peluru 7,62 MM bisa mencapai Rp 25 jutaan.

Menurut Mufti, untuk membuktikan itu memang harus ada uji balistik agar bisa mengetahui jenis senjata apa yang digunakan dalam penyerangan dalam Lapas Cebongan. “Harus dilakukan uji balistik dengan cara melakukan uji tembak. Jika ditemukan senjata itu pun juga bisa diuji untuk membuktikan,” ujarnya.

Mufti mengatakan, pihak di luar TNI dan Polri juga mungkin bisa menggunakan senjata laras panjang dengan peluru kaliber 7,62 MM. Namun harus dengan surat kepemilikan khusus.

“Jenis senjata dengan kaliber peluru seperti itu memang dibutukan surat kepemilikan khusus. Karena senjata jenis tersebut khusus untuk kebutuhan keamanan. Namun, masalahnya kita punya persoalan penyelundupan senjata dan segala macam perang yang terjadi saat GAM dan di Papau. Jadi banyak kelompok yang bisa mempunyai jenis senjata itu,” ujar Mufti.

Sebelumnya, Panglima Kodam IV Diponegoro Mayor Jenderal Hardiono Sarojo membantah dengan tegas pelaku penyerangan Lapas Cebongan Sleman adalah anggota Kopassus. Komandan Garnisun yang meliputi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Jogjakarta ini juga membawahi satuan organik dan non organik Kodam IV Diponegoro. “Penyerangan lapas dilakukan oleh orang tidak dikenal,” kata dia, Senin 25 Maret 2013.

Komando Pasukan Khusus Grup 2 Kandang Menjangan Sukoharjo juga mengatakan bahwa seluruh anggota Kopassus berada di dalam kesatuan pada saat penyerbuan dilakukan. “Kami belum bisa mengomentari kejadian itu,” kata Kepala Seksi Intel Kopassus Grup 2 Kandang Menjangan, Kapten (Inf) Wahyu Yuniartoto. Dia memastikan bahwa pada saat kejadian penyerangan tersebut, 800 anggotanya tidak ada yang keluar dari markas.

LP Sleman diserbu selompok orang, Sabtu (23/3) sekitar pukul 00.30 WIB. Pelaku membawa senpi dan granat serta memaksa masuk LP. Mereka mencari 4 tersangka pengeroyokan anggota Kopassus Sertu Santoso yang dititipkan di LP tersebut.

Empat tahanan yang jadi ‘target’ kelompok itu adalah Dicky Sahetapy, Dedi, Aldi, dan Johan. Mereka tewas dengan luka tembakan. Belum diketahui siapa dan dari kelompok mana pelaku tindakan brutal tersebut

Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane mengungkapkan, Indonesia dalam bahaya teror pasukan siluman bersenjata api. Siluman itu bisa mencabut nyawa kapan pun dan di mana pun.

Tanpa pengungkapan pembunuhan empat tahanan di lapas itu, Indonesia tidak layak lagi disebut negara yang menjunjung tinggi penegakan hukum. Sebaliknya, di Indonesia berlaku hukum rimba. Karena hal ini, Indonesia dinilai sebagai salah satu negara gagal.

Dalam Indeks Negara Gagal (Failed States Index/FSI) 2012, Indonesia menduduki peringkat ke-63 dari 178 negara yang disurvei. Dalam posisi itu, Indonesia masuk kategori negara-negara yang dalam bahaya (in danger) menuju negara gagal.

Beberapa indikator dalam FSI 2012 itu antara lain ketegangan dan kekerasan antarkelompok. Kemampuan negara memberi keamanan dirusak atau dikurangi. Lalu, ada pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan aturan hukum.

Desakan dibentuknya tim investigasi atau pencari fakta disuarakan sejumlah kalangan, antara lain Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat; Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Franz Magnis-Suseno dan Mudji Sutrisno; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Andalas, Padang, Saldi Isra; Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Haris Azhar; dan Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti, secara terpisah, Senin (25/3).

”Sangat perlu Presiden membentuk tim pencari fakta. Kalau (fakta) tidak dibuka dan pelaku tidak dihukum, negara dalam keadaan bahaya karena negara dikuasai kelompok preman dan penegakan hukum tidak berjalan,” kata Magnis.

Dianiaya Dulu

Terpisah, Riyo Rama Baskara, pengacara keempat korban penyerangan misterius Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, menyebut kliennya tidak hanya diberondong timah panas saja. Dia menduga para pelaku misterius sempat melakukan tindakan penganiayaan sebelum mengeksekusi dengan berondongan peluru.

“Banyak ditemukan bekas luka memar dan sayatan senjata tajam di tubuh korban,” kata Riyo.

Sebagai contoh, dia menemukan luka memar di wajah Juan, salah satu korban. Perut Almarhum juga robek akibat sayatan benda tajam. Bahkan lengan kiri Juan patah. “Luka-luka itu jelas bukan karena tembakan,” kata Riyo. Dia mengaku mengetahui kondisi keempat jenasah sesaat kejadian.

Menurut Riyo apa yang telah terjadi kepada keempat kliennya adalah pembantaian. Sebab keempat korban mendapat siksaan dan berondongan peluru dalam kondisi tidak berdaya. “Kami akan terus dorong kasus ini hingga tuntas, jangan sampai ini berhenti karena bisa jadi catatan buruk hukum Indonesia,” kata Riyo.ins,tmp

 

Article source: http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=5a3f2c554cbe19e778b48b8b458b258b&jenis=c4ca4238a0b923820dcc509a6f75849b


Peluru Kaliber 7,62 MM, Polisi-TNI Memiliki

0 comments :

Post a Comment