Terhenyak. Itulah satu kata yang menggambarkan situasi bangun tidur saya, Kamis 25 April 2013. Saya baru saja bangun kesiangan karena semalam suntuk merasa tidak mau membiarkan halaman demi halaman buku Titik Nol karya Agustinus Wibowo terbiarkan.
Saya begitu penasaran dengan tuisannya yang meski belum selesai membacanya, tetapi ada begitu banyak nilai yang penting tercatat di sana. Sebuah perjalanan keliling dunia yang menjadikannya pribadi open minded. Beragam jenis dan situasi kehidupan yang dialaminya di luar sana membuka pikirannya tentang apa yang namanya nilai kemanusiaan.
Ya, terhenyak. Saya tidak terhenyak karena bangun kesiangan. Saya terhenyak karena membuka smartphone saya dan menemukan link berita dari BeritaSatu.Com (Rabu, 16 Januari 2013, 21.29) berjudul: Pemda Blitar Batal Tutup Enam Sekolah Katolik. Maaf. Saya ketinggalan berita. Berita ini sudah basi. Sudah tiga bulan yang lalu. Kurang lebih seperti ini:
Pemerintah Daerah Blitar membatalkan niatnya menutup sejumlah sekolah di wilayah itu yang tidak mau mengikuti aturan memberikan tambahan pelajaran agama bagi siswanya yang beragama Islam.
Romo Didik, Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Surabaya, menjelaskan bahwa pada hari ini, pengurus yayasan sekolah itu memenuhi undangan dari Kantor Kementerian Agama Kota Blitar demi membicarakan masalah itu.
Ada sejumlah kesepakatan yang didapatkan dari pertemuan itu, yakni pendidikan agama non-Katolik tetap dilaksanakan, yang pelaksanaannya dilakukan oleh guru yang kompeten atau lembaga agama yang terkait. Berikutnya kegiatan dimaksud di atas akan dilaksanakan di luar sekolah.
“Petunjuk teknis pelaksanaan kegiatan itu akan disusun secara bersama-sama,” kata Romo Didik saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (16/1) malam.
“Jadi tidak ada penutupan sekolah Katolik,” tegas dia.
Sebelumnya, DPR dan pemerintah diberitakan bergerak cepat untuk mengatasi adanya rencana penutupan enam sekolah swasta di kota Blitar, Jawa Timur, karena menolak memberikan tambahan pelajaran agama bagi siswanya yang beragama Islam.
Anggota Komisi III DPR dari daerah pemilihan itu, Eva Kusuma Sundari, mengisahkan kisruh itu diawali oleh adanya Surat Edaran Bersama (SEB) antara Kantor Kementerian Agama Setempat dengan Walikota mengenai hal itu. Surat itu bernomor 8 tahun 2012.
Di suratnya disebutkan bahwa wajib bagi setiap anak didik harus bisa membaca Al Quran.
Surat itu lalu disusul surat peringatan keenam sekolah swasta di kota Blitar yang dianggap tidak menerapkan pendidikan agama bagi siswanya yang beragama lain, yakni SMA Katolik Diponegoro, STM Katolik, TK Santa Maria, SD Katolik Santa Maria, serta SD Katolik dan SMP Yos Sudarso.
Enam sekolah tersebut tidak bersedia memberikan tambahan kurikulum atau pelajaran agama bagi siswanya yang beragama Islam. Pihak sekolah beralasan, penerapan kurikulum yang diberlakukan sekolahnya bisa diterima siswa ataupun wali murid.
Disebutkan di dalam peringatan bahwa dasar untuk itu mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama, yang mengacu pada UU Sistem Pendidikan Nasional.
Jika hingga batas waktu 19 Januari 2013, pihak sekolah belum menyatakan kesiapan untuk memberikan tambahan pelajaran, maka pemerintah akan mencabut izin operasional enam sekolah tersebut.
Yang menarik dari berita tersebut adalah sudut komentar yang menggugah rasa saya untuk sebuah tulisan setelah ini yang akan saya sajikan.
Ogut – Selasa, 23 April 2013 | 14:02
kenapa ya agama selalu sj yg dipermasalahkan … org Katholik yg bersekolah / kuliah di yayasan agama Islam tidak pernah mengeluhkan ttg pelajaran agamanya …Yg penting tujuan utama utk sekolah / kuliah itu tercapai dgn baik… Jangan sllu agama yg dipermasalahkan .. Yg penting bisa lulus dgn hasil yg baik .. syukur-2 lgsg dpt pekerjaan .. Jika org Katholik bs sekolah di Yayasan Islam justru malah senang krn sebagai umat minoritas bisa belajar pengetahuan ttg Islam, tidak merasa didiskriminasi
ridho – Senin, 25 Februari 2013 | 20:11
maaf mas saya alumni SMAK Diponegoro Blitar, selama saya bersekolah disitu kami muslim hanya mengenal agama Katolik dan juga sebaliknya jadi akan terjadi toleransi beragama yang baik
anton – Selasa, 19 Februari 2013 | 08:27
Salut, dengan saudara/i muslim yang mau bersekolah di sekolah katolik tanpa harus pindah agama . Mereka tahu sekolah katolik mendidik murid jadi NASIONALIS bukan TERORIS. Berapa banyak pejabat negara yang masih MUSLIM sejati yang pernah bersekolah di sekolah Katolik. Sekolah Katolik tak mengajarkan FANATISME TOLOL dan PEMAKSAAN serta senang budaya KORUP ( pengrusakan, kekerasan, tawuran ) yang membuat para siswa sering KERASUKAN BERSAMA karena murid dan gurunya hanya ingin libur bersama (malas)
Hariyadi Blitar – Sabtu, 16 Februari 2013 | 21:54
Mendapatkan Pendidikan Agama oleh Guru Seagama adalah HAK ASASI.
Inilah bunyi pasal 12 ayat 1 di UU SISDIKNAS 2003 yang menjadi acuan. Jika ada sekolah (lembaga pendidikan formal) yang tidak melaksanakannya PANTAS untuk ditinjau ulang ijin operasionalnya.
Saya dapat bocoran 60% lebih siswa di SMA Katolik Blitar adalah Muslim. 85% siswa di STM Katolik Blitar juga Muslim. Sayang nya mereka DIPAKSA mengikuti mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik. Dan TIDAK ADA PILIHAN LAINNYA.
PELANGGARAN HAM
Agustinus Wibowo (sapaan akrabnya Ming), pria kelahiran Lumajang, Jawa Timur beretnis Tionghoa yang menjadi musafir selama 10 tahun keliling dunia setelah menamatkan kuliah bermutunya di Universitas Tsinghua Beijing, Tiongkok. Saya, pria kelahiran Manado, Sulawesi Utara, beretnis Minahasa, belum mengembara terlalu jauh seperti Ming, tetapi cukup merasakan sembilan tahun tidak bersama keluarga.
Dengan alasan yang sama seperti Ming, saya tidak bersama keluarga bukan karena melarikan diri, tetapi karena panggilan jiwa, pendidikan dan tentunya petualangan. Tidak bermaksud menyindir siapa pun, tetapi perjalanan bertahun-tahun “di luar rumah” adalah perjalanan membuka pikiran untuk hidup tidak dengan pola piker kolot yang sok pinter melakukan justifikasi dalam setiap persoalan sensitif menyangkut hak asasi manusia (HAM).
Saya mengingat perjalanan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Sadar akan kekolotan kehidupan yang ada di sekitarnya, Dahlan berani mendobrak tradisi keislaman yang tradisional di tanah Jawa waktu itu dan mencerahkan pikiran dengan melakukan perjalanan belajar ke luar negeri. Itulah kemudian yang menetapkan langkahnya mendirikan sebuah organisasi Islam sebesar Muhammadiyah saat ini, sebuah organisasi Islam modern yang terkenal dengan dialog bermutu dan pemikiran-pemikiran terbukanya tentang dunia secara global.
Saya juga hafal betul dengan sosok KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Presiden ke-4 RI yang merupakan tokoh pengusung pluralisme dalam berbangsa. Bisakah Gus Dur memiliki karakter demikian jika pada masa lalunya tidak berani keluar dari zona tradisionalnya? Bisakah beliau tanpa latar belakang pendidikan ala Kairo yang pluralistik yang diterimanya saat kuliah?
Ketika tahun 2004, kakak perempuan saya secara radikal memutuskan untuk menjadi mualaf mengikuti suaminya yang beragama Islam, keluarga saya yang tumbuh dalam keluarga Katolik tradisional begitu menolak keputusan itu. Keluarga saya adalah kumpulan orang-orang yang mengetahui Islam sebagai ajaran yang tidak pernah berhubungan dengan Kristianitas. Seorang Katolik yang masuk Islam, yah, tidak bisa diterima. Itulah pemikiran tradisional keluarga kami. Apalagi keluarga kami berasal dari etnis Minahasa yang kental dengan suasana kekeluargaan dan kerabat Kristen. Keluarga besar akan mencibir keluarga inti saya jika hal itu terjadi. Malu. Itulah inti dari mengapa kakak saya tidak boleh masuk Islam. Hingga kini pun, meski kakak saya sudah menjalani imannya sebagai seorang muslimah hampir tujuh tahun, stigma sebagai seorang yang “berbeda” sudah telanjur diberikan untuk kakak saya.
Tahun 2008, untuk pertama kalinya saya mengenal Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Sebuah kampus milik yayasan gereja Katolik. Tak seperti kampus-kampus Katolik lainnya di Indonesia bahkan seluruh dunia. Biasanya kampus-kampus itu bernama Santo-Santa atau nilai ke-Katolik-an misalnya De La Salle, Atma Jaya, Sanata Dharma atau Santo Thomas Aquinas, dan lain-lain. Nama “Parahyangan” sangat tidak bersangkut paut dengan nilai-nilai Katolik. Parahyangan justru merupakan representasi dari makna luas sebuah tempat yang menjadi surge dewa-dewi, surge para hyang. Meski akhirnya belakangan nama itu dimaknai khusus oleh kampus tersebut (dalam hubungannya dengan Sang-Hyang-Tuhan), tetapi menjadi sesuatu yang menarik bagi sebuah kampus Katolik yang terkenal tersebut bukan karena saja namanya, tetapi juga karena pendiri dan visi-misi pendidikan yang diusungnya.
Selama menjadi mahasiswa dan menjalani kuliah di kampus ini, sebagai seorang Katolik yang terbiasa sekolah di sekolah Katolik (dengan segala pendidikan Katolik-nya, ritual, kapel, dsb), untuk pertama kalinya saya tidak menemukan mayoritas “penduduk” kampus adalah mahasiswa non-Katolik. Untuk pertama kalinya saya menemukan sebuah Pusat Kajian Humaniora yang melaksanakan kuliah-kuliah karakter, moral , agama dan psikologi. Pusat kajian ini dipimpin oleh seorang romo. Bagi mahasiswa kampus ini – sesuai aturan harus ada pendidikan agama untuk setiap personal – disediakan pilihan untuk memilih mata kuliah dasar wajib: memilih kuliah fenomenologi agama (filsafat) atau kuliah pendidikan agama Katolik.
Bagi saya, mahasiswa fakultas filsafat, sebuah kewajiban untuk memilih mata kuliah fenomenologi. Tetapi untuk mahasiswa dari fakultas lain, mereka dihadapkan pada dua pilihan tersebut. Pilihan yang memudahkan sebenarnya! Kenyataan yang sedikit lucu dan tak disangka adalah, para mahasiswa non-Katolik, justru begitu menyukai memilih kuliah pendidikan agama Katolik. Tanpa dipaksa. Itu pilihan mereka. Kalau saja mereka seorang yang tradisional dan tidak mau menjadi kafir, mereka tentunya lebih memilih kuliah fenomenologi yang notabene sama sekali tidak mempelajari tentang ajaran Katolik. Fenomenologi mengkaji realita agama-agama secara umum. Mau tahu kenapa mereka memilih kuliah pendidikan agama Katolik? Hanya satu alasannya: Dosennya seorang romo yang begitu cerdas, baik hati, murah hati dan bersahaja! Wow! Sebuah alasan yang manusiawi.
Ada hal lain yang begitu menonjol yang saya temukan di kampus ini. Selama kuliah, saya belum menemukan di mana letak kapel atau gereja kampus yang berdiri megah di dalam lingkungan kampus, seperti halnya sebuah kampus Katolik yang ada di belahan dunia mana pun. Mendapat embel-embel Katolik di antara kata “Universitas” dan “Parahyangan” bukanlah hal yang mudah.
Dalam peraturan Gereja Katolik tentang pendidikan Katolik ada pasal yang mengatur hal tersebut. Salah satunya ialah sebuah kampus Katolik harus menampakkan ciri ke-katolik-an yang khas. Maka sebuah kapel atau gereja menjadi ciri khas banyak kampus Katolik di seluruh dunia. Tetapi percayakah Anda, bahwa sampai kapan pun kita tidak akan menemukan kapel megah di lingkungan kampus bernama Parahyangan tersebut?
Ya, sejak berdiri tahun 1955, pendirinya dua uskup berkebangsaan Belanda. Monsinyur Petrus Arntz, OSC (uskup Bandung) dan Monsinyur Prof Geise OFM (rektor pertama Universitas Parahyangan) mencita-citakan sebuah perguruan tinggi yang dibangun “di” dan “untuk” tanah Parahyangan! Keduanya menyadari, kampus ini berdiri di tengah-tengah tanah Sunda yang kental dengan budayanya. Kampus yang akhirnya tetap eksis hingga kini itu ialah kampus yang dipersembahkan untuk tatar Parahyangan. Dengan alasan itu pula, dua pendiri ini menghendaki sebuah kampus yang mengajarkan ilmu berdasarkan Ketuhanan untuk diabdikan kepada masyarakat atau Bakuning Hyang Mrig Guna Santyaya Bhakti.
Dua pendiri ini pertama-tama tidak menempatkan Ke-katolik-an sebagai subjek utama yang harus dicekokin di dalam otak para mahasiswanya, tetapi justru semangat kekatolikan itu sendiri yakni iman, harap, dan kasih, yang harus menyemangati para mahasiswanya agar kelak menjadi manusia yang berbakti secara manusiawi. Itulah alasan mengapa, tidak ada kapel di kampus itu. (dan katanya tidak akan pernah ada-dan itu juga mengapa, Universitas Parahyangan menjadi kampus Katolik yang selalu mendapatkan ‘pengawasan yang ketat’ dari petinggi Gereja Katolik yang mengurusi pendidikan Katolik).
Panjang-lebar tentang Agustinus Wibowo, Ahmad Dahlan, Gus Dur, dan Universitas Katolik Parahyangan, apa sebenarnya hal yang penting dari semua itu?
Dalam sejarah pemikiran Yunani, ada satu masa ketika logika mendapatkan tempat yang begitu mulia saat ia melengserkan segala mitos yang terlalu lama membelenggu masyarakat Yunani waktu itu. Masa ketika myth berubah menjadi logos itulah menjadi masa kelahiran filsafat. Manusia hidup tidak lagi dalam kungkungan tradisionalitas. Tradisional itu bukan masalah konservatif atau kekakuan. Tradisional itu adalah masa ketika otak manusia begitu keukeuh mempertahankan imajinasi kolotnya diperhadapkan dengan kebenaran logika.
Mitos pada masa itu bahkan telah menjadi keyakinan yang begitu menguratnadi dalam kehidupan masyarakat. Ketika mitos itu telah menjadi sebuah “agama”, dia lalu melakukan pembelaan yang terlalu percaya diri dan mati-matian. Dalam perjalanannya kemudian sedikit demi sedikit tradisionalitas mendapatkan tempat yang sesungguhnya harus ia tempati: tradisionalitas menjadi sebuah kearifan lokal, yang dari dialah setiap persoalan seharusnya dipelajari.
Lalu apakah yang mendasari sebuah negara menjadi begitu kolot pemikirannya terhadap pemberlakukan sebuah aturan? Itulah yang terjadi dalam konstruksi pemberitaan yang saya kutip di awal tulisan saya ini. Ketika Pancasila sebagai kearifan jiwa Indonesia yang kemudian di-logos-kan menjadi sebuah dasar negara, bahkan telah kalah dengan seperangkat aturan yang dikeluarkan oleh pemikir-pemikir kolot yang menuntut hak asasi yang sesungguhnya tidak pada pemahaman sebenarnya tentang pentingnya sebuah kemanusiaan.
Apa sebenarnya hak asasi yang dipikirkan oleh orang-orang itu? Apakah mayoritas sebuah komunitas harus mengalahkan hak asasi dari sebuah kekhasan?
Ketika di satu sisi saya menuntut hak saya untuk diperlakukan sesuai kekhasan diri saya, lalu kapan saya memperhitungkan kekhasan orang lain atau institusi yang saya tuntut memberikan hak kekhasan itu kepada saya?
Sekali lagi, mitos dan tradisionalitas sempit telah lahir menjadi logika. Lalu ketika ada yang membaca tulisan ini berkomentar” “Logika justru telah menghancurkan sistem-sistem nilai moral! Rasio justru telah menjadi alat pembunuh bagi manusia!.”
Itu bukan konteks sebenarnya. Bagaimana setiap manusia menyadari bahwa setiap masalah ada di dalam konteksnya masing-masing. Dalam konteks pembicaraan saya, hak asasi manusia adalah setiap hal yang menjadi hak dasar manusia sebagai makhluk bermartabat Allah. Martabat Allah yang diembuskan dalam napas manusia membuatnya menjadi makhluk yang khusus. Dan manusia yang dimaksud itu banyak. Ada hampir delapan miliar martabat Allah di dunia ini. Lalu kita harusnya kembali ke pemahaman bahwa saya harus memberikan kesempatan kepada orang lain untuk hidup menurut ciri khasnya dan saya juga harus menyesuaikan untuk berusaha hidup sesuai kekhasan diri saya secara maksimal.
Ada yang keliru dalam argumentasi-argumentasi tentang mendapatkan hak asasi: aturan diperlakukan untuk memudahkan hak asasi tersebut terwujud, tetapi mengebiri hak asasi pihak lain.
Di akhir tulisan saya ini ada satu hal yang ingin saya gabungkan dalam hubungannya dengan beberapa cerita tentang Agustinus Wibowo hingga Universitas Katolik Parahyangan di atas.
Seorang Pastor Belanda di Tilburg setahun yang lalu pernah mengatakan kepada saya,“Orang Indonesia itu bagus sekali. Punya ungkapan hiduplah membumi!”
Kalimat ini menggugah saya. Ketika orang Barat hidup dengan seni individualistiknya, penilaian saya terhadap itu positif: mereka demikian bukan karena mementingkan diri sendiri, tetapi mereka hidup membumi, apa adanya. Hidup membumi juga berarti saling menghargai, rendah hati, dan memperlakukan segala sesuatu pada “bumi”-nya atau pada asalnya.
Jangan meminta sayur di warung buah. Jangan meminta besi di warung sayur. Jangan meminta pizza di warung gado-gado. Bisa saja, tetapi sulit dan lama! Bangsa ini tidak akan maju jika kita hanya berkutat pada bagaimana bisa membeli kebutuhan pada tempat yang tidak menjualnya. Dirampok, tersesat, hampir mati, dan diperhadapkan pada orangtua yang sakit parah di belahan dunia lain, telah menjadikan Agustinus Wibowo menjadi seseorang yang melihat dunia dan membagi nilai-nilai kemanusiaan yang tersembunyi untuk banyak orang.
KH Ahmad Dahlan dan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi pribadi yang modern dan toleran. Mereka menjadi demikian bukan berarti mengabaikan inti nilai iman mereka, tetapi justru dengan demikian menjadi pribadi yang bersahaja dan mudah menghargai orang lain.
Dan yang terakhir adalah kampus Katolik yang saya ceritakan tadi, yang terpenting adalah mendidik karakter. Percuma paham Alkitab dari Kitab Kejadian hingga Kitab Wahyu, percuma hafal dan paham Alquran dari awal hingga akhir kitab, percuma menguasai tiga keranjang Tripitaka, dan berbagai ajaran Veda ataupun seluruh kebijaksanaan Nabi Kongzi. Semuanya percuma, jika dalam hidup sehari-hari, kita menggunakan semua indra untuk menelanjangi kemanusiaan orang lain. Pertanyaannya, berdasarkan ajaran iman pribadi sebenarnya saya berjuang untuk hak asasi siapa?
Article source: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/12/10/17/mc1ftb-geliat-islam-di-eropa-barat-1
Berjuang untuk Hak Asasi yang Mana dan Siapa?
0 comments :
Post a Comment