
Anggota Front Pembela Islam dalam salah satu aksi mereka
Setelah ketegasan pemerintah untuk mengatasi kasus kekerasan dan intoleransi yang kerap dilakukan oleh kelompok Islam garis keras tidak lagi bisa diharapkan maka banyak orang kemudian berharap kepada aksi kelompok pluralis dan ormas Islam besar, Nahdatul Ulama dan Muhamadiyah untuk meredamnya.
Kekhawatiran bahwa aksi kekerasan dan intoleransi yang berlatar agama akan terus berkembang memang beralasan.
Lembaga Setara Institut dan Wahid Institut dalam penelitiannya menyebutkan ada sekitar 299 kasus peristiwa pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi pada tahun 2011 lalu dan akan tetap ada bahkan meningkat di tahun ini.
“Peningkatannya ada jumlahnya lebih banyak sekitar 15 persen dibanding angka kasus yang terjadi pada tahun lalu,” kata Wakil Ketua Setara Institut, Bonar Tigor Naipospos.
Bonar mengatakan masih adanya kasus-kasus seperti ini terjadi karena lemahnya negara dalam menindak tegas pelaku kekerasan atas nama agama.
“Pembiaran oleh negara membuat kelompok-kelompok intoleran bisa berbuat apa saja termasuk melanggar hukum selain itu mereka bisa menyebarkan penyebaran pikiran picik dan sempit lewat buku, brosur dan ceramah oleh pimpinan agama yang berpandangan sempit selain itu pemahaman soal multikultural yang lemah di masyarakat kita.”
Bonar menyebut lembaganya mencatat kelompok seperti Front Pembela Islam adalah salah satu yang cukup sering melakukan aksi intoleran.
Kasus terakhir yang menunjukan besarnya pengaruh mereka adalah seruan penolakan FPI terhadap penolakan konser Lady Gaga yang berujung pada batalnya konser tersebut.
Menolak kekerasan

Aksi Indonesia tanpa FPI di Jakarta beberapa waktu lalu
Meski aksi kelompok ini mengatasnamakan agama Islam namun tidak semua muslim di indonesia setuju dengan aksi kelompok seperti ini.
Sejumlah orang yang tidak setuju dan hanya menyuarakannya lewat lewat situs jejaring sosial mulai bersepakat untuk unjuk diri menolak aksi kekerasan berlatar agama.
“Saya ngga pernah bicara karena siapalah saya tapi lama kelamaan kok semakin ke sini tidak ada tindakan dari aparat ya udah karena gemes kita beranikan dirilah bilang ngga setuju dan buak gerakan anti kekerasan atas nama agama,” kata Tunggal Pawastri salah satu inisiator gerakan Indonesia Damai Tanpa FPI.
“Mereka yang ikut muak juga dibilang silent majority terus, saya juga termasuk yang tidak bisa diam terus dan harus turun.”
Gerakan yang diusung Tunggal beserta sejumlah rekannya berhasil mengumpulkan sekitar seratus orang dan melakukan aksi unjuk rasa di jalan pada pertengahan Februari lalu.
Aksi Tunggal dan kawan-kawannya tidak berhenti sampai di sana, mereka menggagas dukungan lewat petisi online untuk mensomasi polisi agar berani menindak pelaku kekerasan atas nama agama.
Aksi ini mendapat dukungan dari 2500 orang lebih yang berasal dari berbagai latar belakang.
“Kalau kita amati yang mendukung ada dari kalangan artis, politisi, akademisi dan bahkan beberapa dari kalangan pegawai negeri.”
“Kita juga berdiskusi dengan LBH Jakarta, PBHI dan Elsam untuk mengambil tindakan hukum yang kongkret terhadap hal ini. Dan yang menurut yang paling realistis adalah mengambil gugatan citizen lawsuit.”
Meski banyak bergerak lewat situs jejaring sosial, usaha kampanye Tunggal menentang aksi kekerasan berlatar agama bukannya tidak mendapat perlawanan kelompok garis keras.
Kelompok ini ternyata juga memberikan perlawanan dari kampanye kalangan pluralis melalui jalur media di dunia maya ini.
“Mereka (kelompok intoleran) juga melakukan hal ini dan secara teknis mereka kadang lebih canggih dari kelompok pro pluralisme, mereka kampanye secara provokatif dan menyebarkan fitnah,” kata Peneliti Senior Wahid Institut, Ahmad Suady.
Di Kalimantan Tengah penolakan terhadap kelompok FPI yang dinilai kerap melakukan tindakan kekerasan dalam penyampaian pesannya terjadi secara meluas.
Pejabat daerah dan sejumlah organisasi lintas agama pada pertengahan Februari lalu memutuskan menolak kedatangan sejumlah petinggi FPI yang akan mendirikan cabang organisasi mereka di Kalimantan Tengah.
Keputusan ini diambil setelah sejumlah ormas besar dari kelompok agama Islam, Kristen dan perwakilan etnis Dayak melakukan pembicaraan yang menghasilkan kesepakatan bersama menolak FPI.
“Jangan ada pengertian orang luar bahwa penolakan ini merupakan penolakan terhadap agama Islam, kita sepakat bersama-sama menolak organisasi yang bertentangan dengan budaya betang di tempat kami yang kami lihat mirip dengan Pancasila,” kata Yansen Binti.
Menurut Yansen kehadiran FPI dikhawatirkan akan merusak budaya Betang di daerah itu yang menjunjung penghormatan terhadap semua kelompok dengan latar budaya, etnis dan agama yang berbeda.
“Begitu kita mendengar ada FPI akan masuk ke Kalimantan Tengah dengan dilandasi atas track record yang pernah kita lihat dengan senantiasa kegiatan menebar kekerasan berlandas agama, maka ini mendapat penolakan luas di Kalimantan tengah baik dari agama Islam maupun Kristen.”
Tokoh Dayak lainnya, Sabran Achmad juga menilai kebijakan organisasi itu tidak cocok dengan kehidupan sosial masyarakat di Kalimantan Tengah.
“Penolakan itu karena Kalimantan Tengah sudah cukup aman jadi tidak perlu ada organisasi lagi masuk ke Kalimantan Tengah dan kita melihat organisasi itu kurang cocok di masyarakat Kalimantan Tengah karena sering menimbulkan berita-berita (kasus kekerasan) di luar,” kata Ketua Dewan Adat Dayak Kalimantan Tengah Sabran Achmad.
Aksi di Kalimantan Tengah dan Jakarta menunjukan penolakan terhadap ormas yang berlandas kekerasan seperti FPI bukannya tidak ada di kalangan masyarakat sipil namun memang bersifat sporadis.
Peran Ormas Besar
Jika ada peran warga menolak kehadiran ormas Islam yang kerap melakukan kekerasan dan intoleran bagaimana dengan peran ormas besar seperti NU dan Muhamadiyah.
Apakah selama ini mereka berdiam diri melihat aksi kekerasan oleh kelompok Islam yang intoleran dan melakukan kekerasan.
Salah satu Ketua PP Muhamadiyah Fattah Wibisono membantah organisasinya tidak melakukan sesuatu untuk meredam organisasi islam yang kerap melakukan kekerasan dan berlaku intoleran.
“Kami selalu melakukan diskusi-diskusi tentang bagaimana seharusnya mengambail langkah untuk kebaikan umat dan Muhamadiyah melakukan itu dengan kelompok manapun,” kata Fattah.
“Saya secara individual sering berhubungan dengan FPI dan bahkan sebetulnya ada hal yang menarik pada FPI, mereka sedang membangun pola akademik karena selama ini dikenal sering melakukan itu (kekerasan) mereka tengah membangun langkah akademik dan menghindari kekerasan.”
Muhamadiyah kata Fattah juga memberikan pemahaman kepada anggotanya dan mereka yang belajar pada seluruh lembaga pendidikan yang dikelolanya untuk tidak mengedepankan kekerasan dalam menghadapi perbedaan.
Serupa dengan Muhamadiyah, Nahdatul Ulama membantah jika mereka bersikap diam terhadap aksi kekerasan yang dilakukan oleh FPI atau organisasi keagamaan lainnya.
“Kita tidak pernah diam, apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah itu (faham kekerasan) kita akan lakukan misalnya memberikan penjelasan lebih masif kepada warga kita tentang peneguhan kembali prinsip NU yaitu tasamuh itu toleran, tawasuf itu moderat dan menghargai kebhinekaan,” kata Rais Syuriah PBNU KH Masdar Farid Mas’udi .
Masdar mengatakan warga NU kerap membantu menjaga kegiatan kelompok minoritas yang kerap mendapat ancaman kekerasan dari kelompok intoleran.
“Ketika ada upacara keagamaan yang diganggu oleh kelompok intoleran, Banser kita ikut berada di sana. Kita hanya menjaga dan tentu tidak bisa melakukan tindakan represif kepada mereka.”
Namun menurut Masdar langkah kekuatan masyarakat sipil saja untuk melawan kelompok intoleran ini tidak cukup. Karena tindakan represif dan langkah hukum kepada mereka hanya boleh dilakukan oleh aparat negara.
Senada dengan Masdar, Peneliti Senior di Wahid Institut, Ahmad Suaedy mengatakan meski ormas besar Islam telah melakukan sesuatu terhadao kelompok intoleran seperti FPI namun yang paling menentukan adalah bagaimana kebijakan pemerintah terhadap ormas yang berperilaku seperti ini.
“Saya kira satu-satunnya cara dalam mengatasi hal ini (aksi kekerasan ormas intoleran) adalah komitmen pemimpin negara karena kepolisian ada di bawah dia,” kata Suaedy.
Harapan untuk mendesak pemerintah berlaku tegas terhadap ormas intoleran yang kerap melakukan kekerasan sejauh ini belum mendapat respon yang menggembirakan.
Pertengahan Februari lalu ketika masyarakat ramai menolak kehadiran FPI termasuk di Kalimantan Tengah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak meresponya dengan semangat yang sama.
Dia saat itu hanya meminta FPI untuk introspeksi terhaap kebijakan lapangan yang mereka tempuh.
“”Sejumlah organisasi massa pasti mengerti, membuat tidak nyaman bagi sebagian kalangan. Tentu harus bertanya kenapa? Yang lain boleh tapi saudara-saudara kita yang ada di FPI tidak boleh,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat itu.
Article source: http://www.hidayatullah.com/read/28848/04/06/2013/islam-dan-kerajaan-mali-abad-ke-13-dan-14-(bag-1).html
Harapan masyarakat pada pluralis dan Nahdlatul Ulama
0 comments :
Post a Comment