Wednesday, June 5, 2013

Pemimpin Berhati Suci

Pemimpin Berhati Suci


(Refleksi Peringatan Israk Mikraj 1434 H)


Oleh : Muhammad Kosim


Guru MTsN di Padang


Padang Ekspres • Rabu, 05/06/2013 12:41 WIB • 84 klik


Nabi Muhammad SAW merupakan pe­mimpin ideal yang mesti diteladani oleh umat Islam. Beliau tidak saja tampil se­bagai pemimpin agama di kalangan kaum muslimin, tetapi juga sebagai pe­mimpin masyarakat yang beragam suku, agama dan bangsa.


 


Ini pula yang menjadi alasan Michael H. Hart menempatkan Nabi Muhammad SAW pada posisi pertama di antara 100 tokoh yang paling berpengaruh di dunia. Ia menulis: “Muhammad bukan semata pe­mimpin agama tapi juga pemimpin duniawi.”


 


Jika ditelusuri sirah perjuangan hidupnya, setelah diangkat menjadi Nabi di usia 40 tahun, ia melalui dua fase perjuangan penting, yaitu periode Mekah dan Madinah. Pada periode Mekkah, Nabi SAW hanya berperan sebagai pemimpin agama. Selama periode ini, ia mendidik aqidah dan spiritual para sahabatnya sebagai modal utama untuk menjalankan kepemimpinan di masa mendatang.


 


Sedangkan pada periode Madinah, Nabi Muhammad SAW memiliki peran ganda: sebagai pemimpin agama se­ka­ligus pemimpin duniawi. Sebagai pe­mim­pin duniawi, Nabi SAW tidak saja me­mim­pin umat Islam, tetapi juga ma­sya­ra­kat Madinah yang plural; lintas agama dan suku bangsa. Pada periode Madinah inilah kepemimpinan Nabi SAW men­ca­pai puncak kejayaannya dan menjadi mo­del bagi umat Islam khususnya, di masa-ma­sa sesudahnya.


 


Perlu dicatat, sebelum hijrah ke Ma­dinah, Nabi SAW terlebih dahulu me­nga­lami peristiwa Israk Mikraj. Peristiwa pen­ting ini sebagai prasyarat yang harus di­­l­alui Nabi SAW sebelum menjalankan pe­rannya sebagai pemimpin umat pada pe­riode Madinah.


 


Apa hubungan antara Israk Mikraj dengan kepemimpinan Nabi SAW? Peristiwa israk mikraj merupakan puncak per­jalanan seorang hamba (al-abd) me­nuju sang pencipta (al-Khalik). Israk Mikraj adalah perjalanan menuju ke­sem­pur­naan ruhani (insan kamil). Para sufi pun memandang perjalanan ini sebagai per­jalanan meninggalkan bumi yang rendah menuju langit yang tinggi. Per­ja­la­nan meninggalkan orientasi materi ke­pa­da orientasi kesempurnaan hidup.


 


Bahkan beberapa riwayat men­jelas­kan bahwa sebelum Rasulullah SAW me­la­ku­kan perjalanan, dadanya dibedah untuk disucikan. Kesucian hati ini men­ja­di modal yang amat penting untuk bisa “ber­temu” dengan Allah Yang Mahasuci.


 


Dalam peristiwa tersebut juga di­ri­wa­yat­kan bahwa beliau ditawari susu dan khamar, lalu ia memilih susu. Di­ka­ta­kan­lah pada beliau: “Engkau telah di­anu­ge­rah­kan fitrah. Jika engkau mengambil kha­mar, berarti engkau menyesatkan umat­mu.”


 


Jadi, peristiwa Israk Mikraj adalah me­ng­gambarkan puncak spiritual Nabi SAW sehingga dikemudian hari ia men­ja­di pemimpin yang berhati suci. Inilah kunci keberhasilan Rasulullah me­mim­pin masyarakat Madinah. Tidak pernah ter­besit di hatinya untuk disanjung, di­puja, dan dihormati sebagai penguasa lak­sa­na raja. Ia juga tidak pernah benci apalagi menyakiti orang-orang yang tidak se­­paham dengannya.


 


Kecuali itu, ia bisa berubah menjadi tentara yang kuat ketika musuh-mu­suh­nya datang menyerang. Tetapi ketika musuh itu tertawan, ia tetap mem­per­la­ku­kan­nya dengan baik tanpa pernah mem­bujuk dan memaksa mereka agar ma­suk Islam.


 


Ia malah bersabda: “Takutlah kepada doa orang yang dizalimi walau pun dia orang kafir, karena pada saat itu tidak ada hijab baginya.” Hadis ini merupakan wa­siat bagi pemimpin agar tidak berlaku zalim, walaupun kepada musuh sendiri.


 


Allah juga menegaskan: Dan ja­nganlah sekali-kali kebencianmu ter­ha­dap sesuatu kaum, mendorong kamu un­tuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, ka­rena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, se­sung­guh­nya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. al-Maidah/5: 8).


 


Dalam konteks kekinian, pemimpin hari ini sejatinya meneladani ke­pe­mim­pinan Nabi SAW. Seorang pemimpin mes­ti berhati suci. Syarat utama yang mes­ti dimilikinya adalah memiliki aqidah yang kokoh. Lebih 12 tahun Nabi SAW berjuang untuk membina dan mem­per­kokoh aqidah diri dan para sahabatnya pada periode Mekkah. Setelah itu, ba­ru­lah ia menjadi pemimpin umat di Ma­dinah.


 


Jika aqidah goyah, maka ia akan mu­dah tergoda dengan kenikmatan duniawi yang semakin mudah diperoleh jika diberi we­we­nang mengendalikan kekuasaan. Ia Cen­derung menghalalkan segala cara un­tuk meraih kenikmatan sesaat itu. Meski me­langgar hukum, jika aqidah goyah, pe­ne­gak hukum bisa dikelabui, saksi dan ba­rang bukti bisa saja dilenyapkan.


 


Se­baliknya, ketika aqidah kokoh, ma­ka dirinya senantiasa merasakan pe­nga­wa­san Allah. Meski ia diberi peluang un­tuk melakukan tindak kejahatan dan dipastikan tidak ada orang yang me­nge­tahuinya, tetapi keyakinannya pada pe­nga­wasan Allah membuatnya tidak be­rani melakukan praktik melanggar hu­kum tersebut.


 


Karena itu pula Syekh Sulaiman ar-Ra­suli dalam kitabnya “Asal Pangkat Peng­hulu dan Pendiriannya” me­ne­gas­kan bahwa penghulu atau pemimpin yang se­benarnya adalah Nabi Muhammad SAW yang mampu mengurus persoalan akhi­rat dan duniawi. Hal itu diteruskan oleh khalifah yang empat. Setelah itu, tidak lagi terhimpun siyasah dunia dan akhirat pada satu orang. Tetapi urusan du­niawi dipimpin oleh umara, raja, kha­lifah atau semacamnya, sedangkan u­ru­san akhirat dipimpin oleh ulama.


 


Untuk itu, antara umara dengan u­lama harus sejalan. Sulaiman ar-Rasuli me­nye­but: “Kedua orang itu umpama orang yang melayarkan kapal. Seorang ja­ga haluan dan seorang jaga kemudi, kalau ke­duanya ada sepakat alamat pelayaran akan sampai dan si penumpang akan se­la­mat, dan kalau keduanya bersalahan tan­da pelayaran tidak akan sampai dan si penumpang akan dapat kecelakaan.”


 


Dalam sejarah Minangkabau, dikenal pula “Sumpah Sati Sumpah Satie Bukit Ma­rapalam,” yang mendamaikan antara adat dan agama. Salah satu rumusan da­lam sumpah sati itu adalah “Alim­ ulama­memfat­wakan­ dan­ Pang­hulu­ ma­ma­rintah­kan.”


 


Ini menunjukkan bahwa seorang pe­mim­pin tidak mesti dari kalangan ulama atau yang memiliki keilmuan di bidang tafaqquh fi al-din secara mendalam. Akan tetapi, seorang pemimpin harus men­dekati ulama untuk meminta fat­wa­nya.


 


Ahli hikmah pernah berkata: “Se­bu­ruk-buruk ulama ialah ulama yang men­dekat dengan umara, dan sebaik-ba­ik umara adalah yang mendekat dengan ulama.”


 


Na­mun kedekatan pemimpin dengan ula­ma bukan untuk dipolitisir, diperalat, atau mencarai simpati banyak orang. Te­tapi kedekatan pemimpin dengan ulama adalah untuk meminta fatwa, men­jadi­kan­nya guru, sehingga langkah dan arah sang pemimpin tetap berjalan sesuai de­ngan hukum-hukum Tuhan.


 


Sebaliknya, seorang ulama dilarang mendekati penguasa karena di­kha­wa­tir­kan ia akan diperalat. Namun ulama juga ti­dak dilarang menjadi penguasa, tetapi ke­u­lamaannya tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan kekuasaan. Ke­ula­maan­nya sejatinya memberi arah ke­bi­ja­kan­nya dalam memimpin dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip ke­adi­lan.


 


Dengan demikian, pemimpin yang ber­hati suci adalah pemimpin yang se­nan­tiasa dekat dengan bimbingan para ula­ma yang berhati suci pula. Hatinya se­nan­tiasa bergetar ketika melihat ke­mis­kinan, kebodohan dan penderitaan rak­yatnya. 


 


Itulah yang dicontohkan oleh Ra­su­lul­lah SAW. Ia tidak pernah membentak orang-orang yang dipimpinnya. Ia sangat sa­yang dan mencintai banyak orang; tidak den­dam dan tidak pula dengki.


 


Bahkan ia dikenal sebagai seorang in­ter­preneur yang sukses, namun hartanya di­habiskan untuk memperjuangkan ke­benaran, menampilkan Islam sebagai rah­matan lil-‘alamin, dan mengabdikan diri untuk keadilan dan kemakmuran rak­yat­nya.


 


Ia tidak pernah menginginkan, apa­lagi meminta jabatan. Bahkan ketika Abu Lahb bersama pembesar Quraisy lainnya, melalui Abu Thalib, menawarkan ke­pa­da­nya harta, tahta dan wanita untuk meng­hentikan dakwahnya, dengan tegas ia menolaknya dan berkata: “Wahai pamanku, demi Allah, andaikan mereka meletakkan matahari di tangan ka­nan­ku dan bulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan agama ini, hingga Allah memenangkannya atau aku ikut binasa karenanya, maka aku tidak akan me­ning­galkannya.”


 


Sifat ini pula yang harus dimiliki oleh pe­mimpin di negeri ini. Jangan sekali-kali me­lakukan money politic karena akan be­ru­jung pada penindasan terhadap rakyat kecil demi mengembalikan uang yang su­dah dihabiskan sebagai kos politik.


 


Abbas Muhammad al-Aqqad dalam bu­kunya: “Kejeniusan Rasulullah SAW” men­ceritakan tentang kepemimpinan Nabi SAW. Di antaranya, ketika kaum mus­limin menggali parit (khandak) di se­kitar kota Madinah, beliau pun ikut serta da­lam pekerjaan itu. Ia dekat dengan kalangan mustadh’afin, sehingga me­na­se­hatinya para sahabatnya: “Carikan aku orang-orang yang lemah sesungguhnya yang membawa rezeki dan pertolongan ka­lian adalah orang-orang yang lemah (mustadh’afin).”


 


Kisah ini mengajarkan kepada pe­mim­pin yang berhati suci melayani bukan di­layani, turut berjuang bersama rakyat dan merasakan beban mereka, bukan si­buk menebar citra menarik simpati tapi me­meras keringat dan abai terhadap pen­de­ritaan mereka.


 


Lalu bagaimanakah untuk mengasah dan membersihkan hati agar tetap bening dan suci?


 


Ibn ‘Athaillah dalam kitab Bahjat an-Nufus menulis: “Kalbu/hati baru bersinar dan bercahaya dengan memakan yang halal, selalu berzikir dan membaca al-Qur’an, disertai tadabbur, duduk bersama pa­ra ulama dan orang-orang mukmin, men­jaga diri dari melihat sesuatu yang mu­bah, memelihara diri dari yang ter­la­rang dan makruh, serta cemas terhadap se­gala maksiat.”


 


Peringatan Israk Mikraj Nabi Mu­ham­mad SAW 1434 H ini seyogyanya menjadi momentum bagi kita untuk men­cari, menemukan, memilih dan mem­perjuangkan pemimpin yang ber­hati suci, dengan tetap mengharap pe­tunjuk dan bimbingan Allah Yang Ma­ha­suci. Jangan pernah mendukung pe­mim­pin yang berhati kotor; hanya berorientasi pada kepentingan dunia dan menghalal­kan se­gala cara. Wallahu a’lam.(*)


[ Red/Administrator ]


Article source: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/13/05/30/mnlg54-yulio-muslim-da-costa-mualaf-hafal-alquran-30-juz-bagian2


Pemimpin Berhati Suci

0 comments :

Post a Comment