Pemimpin Berhati Suci
(Refleksi Peringatan Israk Mikraj 1434 H)
Oleh : Muhammad Kosim
Guru MTsN di Padang
Padang Ekspres • Rabu, 05/06/2013 12:41 WIB • 84 klik
Nabi Muhammad SAW merupakan pemimpin ideal yang mesti diteladani oleh umat Islam. Beliau tidak saja tampil sebagai pemimpin agama di kalangan kaum muslimin, tetapi juga sebagai pemimpin masyarakat yang beragam suku, agama dan bangsa.
Ini pula yang menjadi alasan Michael H. Hart menempatkan Nabi Muhammad SAW pada posisi pertama di antara 100 tokoh yang paling berpengaruh di dunia. Ia menulis: “Muhammad bukan semata pemimpin agama tapi juga pemimpin duniawi.”
Jika ditelusuri sirah perjuangan hidupnya, setelah diangkat menjadi Nabi di usia 40 tahun, ia melalui dua fase perjuangan penting, yaitu periode Mekah dan Madinah. Pada periode Mekkah, Nabi SAW hanya berperan sebagai pemimpin agama. Selama periode ini, ia mendidik aqidah dan spiritual para sahabatnya sebagai modal utama untuk menjalankan kepemimpinan di masa mendatang.
Sedangkan pada periode Madinah, Nabi Muhammad SAW memiliki peran ganda: sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin duniawi. Sebagai pemimpin duniawi, Nabi SAW tidak saja memimpin umat Islam, tetapi juga masyarakat Madinah yang plural; lintas agama dan suku bangsa. Pada periode Madinah inilah kepemimpinan Nabi SAW mencapai puncak kejayaannya dan menjadi model bagi umat Islam khususnya, di masa-masa sesudahnya.
Perlu dicatat, sebelum hijrah ke Madinah, Nabi SAW terlebih dahulu mengalami peristiwa Israk Mikraj. Peristiwa penting ini sebagai prasyarat yang harus dilalui Nabi SAW sebelum menjalankan perannya sebagai pemimpin umat pada periode Madinah.
Apa hubungan antara Israk Mikraj dengan kepemimpinan Nabi SAW? Peristiwa israk mikraj merupakan puncak perjalanan seorang hamba (al-abd) menuju sang pencipta (al-Khalik). Israk Mikraj adalah perjalanan menuju kesempurnaan ruhani (insan kamil). Para sufi pun memandang perjalanan ini sebagai perjalanan meninggalkan bumi yang rendah menuju langit yang tinggi. Perjalanan meninggalkan orientasi materi kepada orientasi kesempurnaan hidup.
Bahkan beberapa riwayat menjelaskan bahwa sebelum Rasulullah SAW melakukan perjalanan, dadanya dibedah untuk disucikan. Kesucian hati ini menjadi modal yang amat penting untuk bisa “bertemu” dengan Allah Yang Mahasuci.
Dalam peristiwa tersebut juga diriwayatkan bahwa beliau ditawari susu dan khamar, lalu ia memilih susu. Dikatakanlah pada beliau: “Engkau telah dianugerahkan fitrah. Jika engkau mengambil khamar, berarti engkau menyesatkan umatmu.”
Jadi, peristiwa Israk Mikraj adalah menggambarkan puncak spiritual Nabi SAW sehingga dikemudian hari ia menjadi pemimpin yang berhati suci. Inilah kunci keberhasilan Rasulullah memimpin masyarakat Madinah. Tidak pernah terbesit di hatinya untuk disanjung, dipuja, dan dihormati sebagai penguasa laksana raja. Ia juga tidak pernah benci apalagi menyakiti orang-orang yang tidak sepaham dengannya.
Kecuali itu, ia bisa berubah menjadi tentara yang kuat ketika musuh-musuhnya datang menyerang. Tetapi ketika musuh itu tertawan, ia tetap memperlakukannya dengan baik tanpa pernah membujuk dan memaksa mereka agar masuk Islam.
Ia malah bersabda: “Takutlah kepada doa orang yang dizalimi walau pun dia orang kafir, karena pada saat itu tidak ada hijab baginya.” Hadis ini merupakan wasiat bagi pemimpin agar tidak berlaku zalim, walaupun kepada musuh sendiri.
Allah juga menegaskan: Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. al-Maidah/5: 8).
Dalam konteks kekinian, pemimpin hari ini sejatinya meneladani kepemimpinan Nabi SAW. Seorang pemimpin mesti berhati suci. Syarat utama yang mesti dimilikinya adalah memiliki aqidah yang kokoh. Lebih 12 tahun Nabi SAW berjuang untuk membina dan memperkokoh aqidah diri dan para sahabatnya pada periode Mekkah. Setelah itu, barulah ia menjadi pemimpin umat di Madinah.
Jika aqidah goyah, maka ia akan mudah tergoda dengan kenikmatan duniawi yang semakin mudah diperoleh jika diberi wewenang mengendalikan kekuasaan. Ia Cenderung menghalalkan segala cara untuk meraih kenikmatan sesaat itu. Meski melanggar hukum, jika aqidah goyah, penegak hukum bisa dikelabui, saksi dan barang bukti bisa saja dilenyapkan.
Sebaliknya, ketika aqidah kokoh, maka dirinya senantiasa merasakan pengawasan Allah. Meski ia diberi peluang untuk melakukan tindak kejahatan dan dipastikan tidak ada orang yang mengetahuinya, tetapi keyakinannya pada pengawasan Allah membuatnya tidak berani melakukan praktik melanggar hukum tersebut.
Karena itu pula Syekh Sulaiman ar-Rasuli dalam kitabnya “Asal Pangkat Penghulu dan Pendiriannya” menegaskan bahwa penghulu atau pemimpin yang sebenarnya adalah Nabi Muhammad SAW yang mampu mengurus persoalan akhirat dan duniawi. Hal itu diteruskan oleh khalifah yang empat. Setelah itu, tidak lagi terhimpun siyasah dunia dan akhirat pada satu orang. Tetapi urusan duniawi dipimpin oleh umara, raja, khalifah atau semacamnya, sedangkan urusan akhirat dipimpin oleh ulama.
Untuk itu, antara umara dengan ulama harus sejalan. Sulaiman ar-Rasuli menyebut: “Kedua orang itu umpama orang yang melayarkan kapal. Seorang jaga haluan dan seorang jaga kemudi, kalau keduanya ada sepakat alamat pelayaran akan sampai dan si penumpang akan selamat, dan kalau keduanya bersalahan tanda pelayaran tidak akan sampai dan si penumpang akan dapat kecelakaan.”
Dalam sejarah Minangkabau, dikenal pula “Sumpah Sati Sumpah Satie Bukit Marapalam,” yang mendamaikan antara adat dan agama. Salah satu rumusan dalam sumpah sati itu adalah “Alim ulamamemfatwakan dan Panghulu mamarintahkan.”
Ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin tidak mesti dari kalangan ulama atau yang memiliki keilmuan di bidang tafaqquh fi al-din secara mendalam. Akan tetapi, seorang pemimpin harus mendekati ulama untuk meminta fatwanya.
Ahli hikmah pernah berkata: “Seburuk-buruk ulama ialah ulama yang mendekat dengan umara, dan sebaik-baik umara adalah yang mendekat dengan ulama.”
Namun kedekatan pemimpin dengan ulama bukan untuk dipolitisir, diperalat, atau mencarai simpati banyak orang. Tetapi kedekatan pemimpin dengan ulama adalah untuk meminta fatwa, menjadikannya guru, sehingga langkah dan arah sang pemimpin tetap berjalan sesuai dengan hukum-hukum Tuhan.
Sebaliknya, seorang ulama dilarang mendekati penguasa karena dikhawatirkan ia akan diperalat. Namun ulama juga tidak dilarang menjadi penguasa, tetapi keulamaannya tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan kekuasaan. Keulamaannya sejatinya memberi arah kebijakannya dalam memimpin dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip keadilan.
Dengan demikian, pemimpin yang berhati suci adalah pemimpin yang senantiasa dekat dengan bimbingan para ulama yang berhati suci pula. Hatinya senantiasa bergetar ketika melihat kemiskinan, kebodohan dan penderitaan rakyatnya.
Itulah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Ia tidak pernah membentak orang-orang yang dipimpinnya. Ia sangat sayang dan mencintai banyak orang; tidak dendam dan tidak pula dengki.
Bahkan ia dikenal sebagai seorang interpreneur yang sukses, namun hartanya dihabiskan untuk memperjuangkan kebenaran, menampilkan Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin, dan mengabdikan diri untuk keadilan dan kemakmuran rakyatnya.
Ia tidak pernah menginginkan, apalagi meminta jabatan. Bahkan ketika Abu Lahb bersama pembesar Quraisy lainnya, melalui Abu Thalib, menawarkan kepadanya harta, tahta dan wanita untuk menghentikan dakwahnya, dengan tegas ia menolaknya dan berkata: “Wahai pamanku, demi Allah, andaikan mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan agama ini, hingga Allah memenangkannya atau aku ikut binasa karenanya, maka aku tidak akan meninggalkannya.”
Sifat ini pula yang harus dimiliki oleh pemimpin di negeri ini. Jangan sekali-kali melakukan money politic karena akan berujung pada penindasan terhadap rakyat kecil demi mengembalikan uang yang sudah dihabiskan sebagai kos politik.
Abbas Muhammad al-Aqqad dalam bukunya: “Kejeniusan Rasulullah SAW” menceritakan tentang kepemimpinan Nabi SAW. Di antaranya, ketika kaum muslimin menggali parit (khandak) di sekitar kota Madinah, beliau pun ikut serta dalam pekerjaan itu. Ia dekat dengan kalangan mustadh’afin, sehingga menasehatinya para sahabatnya: “Carikan aku orang-orang yang lemah sesungguhnya yang membawa rezeki dan pertolongan kalian adalah orang-orang yang lemah (mustadh’afin).”
Kisah ini mengajarkan kepada pemimpin yang berhati suci melayani bukan dilayani, turut berjuang bersama rakyat dan merasakan beban mereka, bukan sibuk menebar citra menarik simpati tapi memeras keringat dan abai terhadap penderitaan mereka.
Lalu bagaimanakah untuk mengasah dan membersihkan hati agar tetap bening dan suci?
Ibn ‘Athaillah dalam kitab Bahjat an-Nufus menulis: “Kalbu/hati baru bersinar dan bercahaya dengan memakan yang halal, selalu berzikir dan membaca al-Qur’an, disertai tadabbur, duduk bersama para ulama dan orang-orang mukmin, menjaga diri dari melihat sesuatu yang mubah, memelihara diri dari yang terlarang dan makruh, serta cemas terhadap segala maksiat.”
Peringatan Israk Mikraj Nabi Muhammad SAW 1434 H ini seyogyanya menjadi momentum bagi kita untuk mencari, menemukan, memilih dan memperjuangkan pemimpin yang berhati suci, dengan tetap mengharap petunjuk dan bimbingan Allah Yang Mahasuci. Jangan pernah mendukung pemimpin yang berhati kotor; hanya berorientasi pada kepentingan dunia dan menghalalkan segala cara. Wallahu a’lam.(*)
[ Red/Administrator ]
Article source: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/13/05/30/mnlg54-yulio-muslim-da-costa-mualaf-hafal-alquran-30-juz-bagian2
Pemimpin Berhati Suci
0 comments :
Post a Comment