REPUBLIKA.CO.ID, Dua polisi Mesir berseragam datang menghampiri dua reporter Washington Post dengan senjata. Dua jurnalis itu sedang meliput sebuah kawasan Kristen yang dihancurkan di dekat stasiun polisi.
Kepala Stasiun Polisi setempat yang memperkenalkan namanya sebagai Jendral Samir, mengatakan jika markasnya diserang saat kekerasan 14 Agustus berlangsung. Dia pun memperlihatkan setumpuk foto yang mendokumentasikan penyerangan pada markas polisi lalu lintas tersebut, tulis Washingtonpost.
Meski demikian, Samir dan anak buahnya tidak mengunjungi tiga gereja dan properti milik warga Kristen yang terletak hanya beberapa blok dari markasnya. “Untuk apa?”ungkap komandan polisi sambil menambahkan, investigasi adalah tugas dari jaksa wilayah, kepada Washingtonpost.
Bukti serangan antiKristen terlihat dipajang sepanjang Minya. Di sebuah Sekolah Yesuit yang juga bernama Minya, terdapat coretan yang berisi,”Mesir adalah Islamis,” di gerbangnya.
Gereja Mar Mina, dekat dengan titik unjuk rasa Ikhwanul Muslimin, juga terpampang kata Islamis. Beberapa saksi mengungkapkan, penyerang meneriakkan makian kepada pemerintah.
Seorang saksi lain mengatakan, kelompok yang dia lihat menyerang sebuah gereja, mengenakan ikat kepala hijau beserta dengan lambang Ikhwanul Muslimin.
Pejabat Ikhwanul Muslimin di Minya, yang saat ini sedang dicari polisi, menjelaskan via telepon, ‘keluarga’ di provinsi tersebut memang telah menembaki polisi sebagai upaya balas dendam atas tewasnya ratusan pengunjukrasa di kamp Nahda dan Raba al Adawiya.
“Mereka yang mengenal sifat orang Mesir mengerti bahwa mereka percaya dengan pembalasan,”ujarnya. Akan tetapi, Behairy mengatakan, sama sekali tidak benar jika demonstran telah menyerang gereja. Dia pun menyalahkan penyerangan tersebut yang menyebabkan permasalahan.
Sejarah Konflik Sekterian di Mesir
Mesir adalah Negara Muslim terbesar di timur tengah. Di Negeri Piramida, populasi Umat Kristiani hanya 10 persen. Akan tetapi, di Lembah Nil, kota seperti Beni Mazar dan Minya dapat memiliki kantong populasi kristen dengan prosentase terbesar dalam populasi.
Dalam beberapa dekade, konflik sekterian antara Muslim dan Kristen telah menumpahkan kekerasan. Sebuah fenomena pada revolusi 2011 membawa kelompok Islam sebagai penguasa saat pihak keamanan goyah.
Kekuatan militer Mesir enggan menanggulangi kekerasan sekterian di negara tersebut. Seorang pejabat dari perwakilan negara barat mengatakan, tidak dapat keluar dari konteks pertanyaan, apakah pihak keamanan yang tidak mengenakan seragam dan membawa senjata memainkan peran pada kekerasan tersebut.
Beberapa warga yang diwawancarai di Provinsi Minya mengaku percaya kalau Ikhwanul Muslimin telah menyalahkan orang Kristen. Pasalnya, pemimpin Gereja Koptik Uskup Tawadros II, telah mendukung kudeta 3 Juli yang menggulingkan Mursi.
Dari semua penyerangan di ibu kota provinsi, terdapat satu gereja Amir Tadros yang juga dibakar. Letaknya, hanya beberapa blok dari kantor gubernur.
Micheal Kastour, seorang anggota gereja menyaksikan penyerangan tersebut. Satu kelompok pria bersenjata telah melempar batu dan bom molotov ke dinding gereja sebelum memaksa masuk gerbang besi.
Kastour pun meraih tangga untuk naik ke atap gereja. Kemudian, ujarnya, dia melompati kubah batu yang lebih rendah hingga sampai ke jalan.
Dia menjelaskan, bersama ayahnya yang juga pejabat gereja, kemudian memanggil tentara dan polisi beberapa kali saat gereja sedang dibakar. Akan tetapi, tidak ada petugas yang datang merespons.
“Kami percaya militer tidak tampil pada hari pertama, sehingga Ikhwanul Muslimin dapat menunjukkan semua kartunya dan menunjukkan kepada dunia kalau mereka ‘teroris’ .”
Dia mengungkapkan, dalam waktu normal, polisi hanya butuh beberapa waktu untuk merespons laporan kekerasan sekterian. “Tapi pada hari itu, mereka semua menolaknya,”jelasnya kepada Washingtonpost.
Article source: http://www.themalaysianinsider.com/tech/article/latin-americans-most-socially-engaged-users-in-the-world
Gereja Mesir Diserang, Polisi dan Militer Diam
0 comments :
Post a Comment