Wednesday, January 9, 2013

LIAN GOGALI: Ruang Bicara Perempuan Poso


LIAN GOGALI: Ruang Bicara Perempuan Poso

Jakarta, GATRAnewsLian Gogali menggagas sekolah perempuan untuk ibu-ibu korban konflik Poso. Usahanya yang menginspirasi dan tanpa lelah mengantarkannya menjadi penerima Coexist Prize.

Kota Poso yang terik, awal November lalu, sekitar 50 ibu-ibu berkerumun di bawah tugu Jam Kota Poso, yang terletak di Jalan Kalimang. Mereka membawa poster kertas putih bertulisan ajakan agar menciptakan perdamaian di kota yang pernah terpecah oleh konflik selama hampir satu dekade itu. ”Kami Perempuan Poso Ingin Damai”, ”Ciptakan Poso yang Bebas dari Ketakutan”, ”Damai Tak Butuh Kekerasan”, begitu beberapa kalimat dalam poster yang dipertontonkan para perempuan setengah baya itu.

Mereka juga meneriakkan yel-yel agar perempuan Poso maju bersama membangun perdamaian dan menolak segala bentuk kekerasan, sembari membagikan selebaran kepada pengguna jalan yang lewat. Seorang peserta aksi kadang memberikan seruan dan disambut balasan teriakan, ”Sintuwu maroso,” yang berarti bersatu dan kuat. ”Peristiwa kekerasan di Poso bukanlah kasus agama. Kekerasan Poso adalah bentuk kegagalan pemerintah, dan kami menolak segala bentuk kekerasan,” begitu pesan aksi damai itu yang dibacakan Lina Laando, koordinator lapangan.

Ibu-ibu pendemo dari berbagai latar belakang agama dan suku yang berasal dari Kecamatan Poso Pesisir, Poso Pesisir Utara, Poso Kota, Lage, dan wilayah Tentena itu memang ingin kampung mereka damai, tak ada pertikaian lagi. Sejak ada konflik horizontal sekitar tahun 2000, hingga yang paling terbaru adanya pembantaian warga oleh oknum tak bertanggung jawab, akhir Agustus lalu, Poso memang seperti tak henti dirundung teror.

Trauma itu membuat perempuan Poso tenggelam dalam ketakutan. Jangankan menyuarakan pendapat, berkumpul atau berkomunikasi dengan orang berbeda keyakinan pun tak berani. Namun hari itu para perempuan yang merupakan anggota Sekolah Perempuan Mosintuwu itu sudah tak punya rasa takut untuk bersuara.

Ketakutan yang kini berganti menjadi kekuatan itu adalah salah satu hasil usaha panjang perempuan bernama Lian Gogali. Perempuan kelahiran Poso, 24 April 1978, ini tahu benar kondisi sosial budaya masyarakat di sana. Konflik telah memicu saling curiga, kebencian, dan permusuhan antar-warga.

Ketika konflik Poso pecah, keluarga Lian menjadi korban. Harta dijarah, rumah juga dihancurkan oleh api dan banyak yang terluka. Pada saat itu, Lian sedang belajar untuk meraih gelar master di Universitas Sanata Darma, Yogyakarta. Dia sempat pulang ke rumahnya, menyaksikan dan mengalami langsung getirnya konflik yang terjadi. Meski sedih, dia menyatakan tidak memegang dendam. Ia pun kemudian memutuskan menulis tentang resolusi konflik untuk tesisnya.

Maka, pada 2002-2004, Lian melakukan penelitian di beberapa wilayah pengungsian saat konflik Poso. Ia mewawancarai ratusan perempuan dan anak-anak. Selama penelitiannya itu, Lian menemukan bahwa perempuan adalah yang pertama memulai gerakan perdamaian pra dan pasca-konflik.

Seperti di masa lalu, selama konflik, sayuran, buah, dan lauk memiliki “agama”. Kristen menolak ikan yang berasal Poso Timur karena takut diracun. Sebaliknya, umat Islam di Poso menyingkirkan sayuran dari permukiman Kristen. Tapi para wanita tidak peduli. Bagi mereka, ini adalah masalah bertahan hidup. Suami dan anak-anak butuh makan.

Ratusan wanita juga membantu satu sama lain selama bentrokan. Seorang ibu muslim di Lage menyembunyikan wanita Kristen selama serangan. Di sisi lain, para pengungsi muslim menerima makanan dari pengungsi Kristen.

Dalam penelitian itu, Lian juga menemukan sesuatu yang kelak mengubah jalan hidupnya. Saat itu, seorang responden bertanya kepadanya, ”Setelah meneliti, menulis, dan mendapat gelar, lalu mau apa dengan wawancara ini?” Pertanyaan sederhana itu membuat Lian tersadar. Pertanyaan itu selalu diingatnya, bahkan setelah dia kembali ke Yogya untuk menyempurnakan tesisnya. “Saya memutuskan kelak kembali ke Poso dan bekerja untuk isu perempuan dan anak-anak,” katanya.

Dan, memang, begitu kuliahnya kelar sekitar tahun 2009, Lian memilih bekerja pada Asian Muslim Action Network (AMAN) sebagai fasilitator sekolah perempuan (SP) yang dibangun di Poso. Ketika AMAN menghentikan programnya, berbekal pengalaman dan pembelajaran yang didapat, Lian memutuskan membuat SP sendiri. “Saya percaya, ada kebutuhan mendesak bagi perempuan untuk berbicara dan berpartisipasi aktif,” ujarnya.

Lalu didatangilah desa-desa di Poso, bertemu para wanitanya, untuk mengenal karakter mereka. Waktu itu, Lian sudah berketetapan hati untuk mengajar perempuan berpenghasilan rendah serta kelompok-kelompok minoritas yang tidak memiliki akses terhadap gender dan pengetahuan soal membangun perdamaian. Dia sengaja tak minta rekomendasi dari aparat desa atau tetua desa. Sebab biasanya dia diarahkan kepada pribadi-pribadi yang punya pamrih, bukan mereka yang benar-benar ingin memperbaiki diri.

Jadi, ada beberapa kriteria calon muridnya waktu itu. Pertama, mereka harus memiliki visi perdamaian inklusif dan keadilan. Mereka juga harus memiliki kemauan berjuang untuk orang lain. Lian pun mengutamakan muridnya adalah para korban kekerasan, karena mereka memiliki akses terbatas pada informasi dan biasanya tak berdaya.

Dengan dana yang terbatas, pada 2011 Lian bisa menyelenggarakan sesi awal SP Mosintuwu di teras rumah kontrakannya di Pamona. Sebuah ruang besar terbuka dengan dinding kayu. Angkatan pertama SP ini, kata Lian, awalnya sekitar 80 orang saja, terdiri dari umat Kristen 50%, Islam 40%, dan Hindu 10%. Semuanya ibu rumah tangga biasa, lulusan SD, maksimal SMP. Mereka juga diajari menonton film bersama, bermain peran, mengunjungi rumah ibadah, dan sebagainya.

***

Pada awalnya, kegiatan belajar-mengajar tidak berjalan lancar. Pertemuan pertama diawali tatapan mata saling curiga. Beberapa peserta juga ada yang tidak memiliki komitmen dan meninggalkan kelas. Mosintuwu yang berarti hidup bersama ini pun mengembangkan kurikulumnya sendiri di sekolah itu. Akademisi, tokoh masyarakat, budayawan, dan perempuan diundang untuk duduk bersama mendiskusikan kebutuhan bahan kurikulum sekitar seminggu. Lantas kurikulum dielaborasi oleh Lian dan dibantu Jhon Lusikooy, seorang akademisi yang juga aktivis sosial di Tentena.

Meski tertatih, lambat laun sekolah itu bisa digelar sekali sepekan selama empat jam. Dalam menjalankan SP dan kemudian dilengkapi dengan sanggar anak, Lian membiayainya dari honor bekerja sebagai peneliti dan penulis. Suatu ketika, seorang kawan peneliti dari Belanda merekomendasikannya untuk menceritakan mimpi-mimpinya tentang SP ke organisasi Mensen Men Een Missie. “Mereka pun membiayai operasional SP,” tuturnya.

Ternyata dana dari Belanda itu sangat berguna. Begitu lulusan pertama kelar, banyak desa yang minta agar perempuannya dilibatkan dalam SP dan meminta agar SP berdiri di sana. Lian pun bersiap memperluas jaringannya. Apalagi, bila hanya membuka di Pamona, program pemulihan konflik berlatar keyakinan ini tak akan efektif.

Lian akhirnya dengan cepat bisa mendirikan SP setidaknya di 10 desa di tiga kecamatan. Antara lain Kecamatan Lage yang terdiri dari Desa Toyado, Labuan, Malei, Bategencu; Kecamatan Poso Kota yang terdiri dari Desa Bukit Bambu, Sayo, Tegalrejo; dan Kecamatan Poso Pesisir Selatan yang terdiri dari Desa Tangkura, Betalembah, Patiwunga. Mereka dari berbagai suku, seperti Pamona, Toraja, Bugis, Gorontalo, Bajo, dan Mori.

Namun, karena keterbatasan dana, tempat mengajar ini juga sederhana. Lian sudah biasa mengajar di rumah-rumah penduduk dan teras mereka, bahkan di ladang. Untuk menjaga semangat para perempuan itu, Lian rutin berpatroli ke tiap desa.

Saking semangatnya, ia pernah mengalami kecelakaan hingga perlu menggunakan kruk. Kakinya patah dan menderita infeksi. Dia sempat menjalani sembilan kali operasi. Namun ibu satu anak ini tetap bersemangat. Ia senang murid-muridnya menemukan ruang yang aman dan terbuka untuk berbicara.

Awalnya memang tak mudah menggandeng para perempuan itu. “Ada yang datang dengan dugaan ada uang duduk, setelah tahu tidak ada, terus mundur,” kata Lian. Lalu, karena pesertanya ibu rumah tangga, sang suami kerap melarangnya. “Ada anggapan, istrinya sudah tidak memperhatikan rumah tangga dan hanya mau sekolah,” ia menambahkan.

Sementara itu, beberapa warga berpikir, bekerja atau belajar di luar rumah tanpa izin suami tidaklah baik. Muncul pula asumsi, jika ikut SP, ibu-ibu berbicara lebih lantang dan melawan. “Beberapa sempat mengancam lewat SMS,” ungkapnya.

Namun ada pula warga yang mendukung karena istrinya bertambah pintar dan berwawasan ketika diajak berdiskusi. Perubahan paling nyata, menurut Lian, dirasakan para perempuan peserta SP sendiri. “Mereka mulai paham, saling menaruh respek, dan terbuka terhadap perbedaan agama yang ada,” kata perempuan yang telah menulis tiga buku, antara lain Konflik Poso: Suara Perempuan dan Anak Menuju Rekonsiliasi Ingatan, itu.

Di sebuah SP yang ada di Pamona, misalnya, sekolah dibuka para peserta dengan menceritakan persoalan yang dialami, seperti KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Lalu mereka mencoba saling mendukung, berempati, dan bersumbang saran. Kegiatan juga diisi dengan diskusi, bermain drama, menonton film, analisis film, kunjungan lapangan ke rumah ibadah agama Islam, Kristen, dan Hindu untuk mengenal dan mengetahui agama, membuat film pendek, dan permainan.

Hasil tempaan Lian memang luar biasa. Pada upacara wisuda angkatan pertama di Tentena, lulusan Mosintuwu sepakat untuk mengabdikan diri bagi masyarakat dengan membangun sebuah rumah untuk perlindungan perempuan dan anak.

***

SP Mosintuwu kini memiliki delapan modul kurikulum dan yang bisa diselesaikan dalam 10 bulan. Mata pelajaran yang diajarkan adalah toleransi dan perdamaian, gender dan isu-isu politik, berbicara di depan umum dan pembangunan ekonomi. Melalui kurikulum ini, para anggota diminta menghilangkan praduga, kecurigaan, trauma, dan dendam, membangun kepercayaan diri serta saling percaya, dan meningkatkan kerja sama.

Tahun ini, SP angkatan kedua, menurut Lian, dibiayai dari hasil Coexist Prize, yang diterimanya pada 20 Maret lalu di Skirball Center, Universitas New York, Amerika Serikat. Penghargaan internasional dari Coexist Foundation yang bermarkas di Inggris itu diberikan kepada mereka yang dianggap sebagai unsung hero, sosok tidak dikenal yang bekerja dan memperjuangkan isu perdamaian serta gerakan interfaith.

“Saya tidak tahu dan mendadak masuk daftar panjang nominasi. Setelah itu lupa, tidak ingat lagi,” katanya, merendah. Lian terpilih dari 300 lebih nominator yang masuk dari seluruh dunia. Lian dan para finalis lolos setelah melalui tahap penjurian yang ketat oleh Dr. Ali Gomaa, Rabbi David Superstein, Bishop Mark S. Hanson, dan Mary Robinson.

Dalam penjelasan resmi di website Coexist Foundation disebutkan bahwa Coexist Prize baru pertama kali diadakan pada 2012 ini. Para juri memilih enam nominator sebagai finalis. Hingga akhirnya, juri berkeputusan bulat memilih Lian sebagai penerima Coexist Prize. ”Lian Gogali menjadi pemenang karena dia contoh terbaik dari sebuah pengalaman pribadi dan sebuah proyek yang menginspirasi,” kata David Ford, profesor di Universitas Cambridge, Inggris, mewakili para juri.

Saat menerima hadiah senilai US$ 100.000 itu, Lian Gogali menuturkan bahwa Coexist Prize yang diterimanya adalah penghargaan untuk semua perempuan dan anak-anak yang selama ini bekerja bersama-sama dengannya dalam segala keterbatasan untuk memperjuangkan perdamaian dan keadilan. Termasuk untuk semua pihak yang tetap percaya dan terus berjuang bagi kesetaraan, untuk perdamaian dan keadilan, melalui gerakan interfaith.

Coexist merupakan yayasan yang sejak 2006 mengupayakan pendekatan antar-keyakinan untuk mempromosikan pemahaman yang lebih baik antara orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam, juga masyarakat lain, melalui pendidikan, dialog, dan penelitian. Penghargaan buat Lian itu adalah sebuah pengakuan atas usahanya membangun perempuan Poso menjadi bagian terbaik dalam mereduksi pengaruh hasutan ideologi kebencian.

Kini, setelah satu langkah dilalui Lian, ada satu harapan lagi yang ingin dia wujudkan. Lian ingin menggelar Kongres Perempuan Poso. Kongres ini dimaksudkan untuk membuka ruang bicara perempuan Poso serta akses ruang publik dan ruang politik, sehingga perempuan bisa berpartisipasi aktif dalam pembangunan dan mendapatkan keadilan. “Saya pun ingin membangun sekolah perempuan di beberapa tempat di Indonesia, juga di luar, khususnya di daerah-daerah pasca-konflik,” katanya. (Mukhlison S. Widodo dan Rach Alida Bahaweres)


LIAN GOGALI: Ruang Bicara Perempuan Poso

0 comments :

Post a Comment