Wednesday, April 10, 2013

Membangun Percaya Diri dan Pencitraan yang Hakiki (1)

Home Tazkiyatun Nafs



Membangun Percaya Diri dan Pencitraan yang Hakiki (1)





 

Orang-orang yang semestinya tampil mengarahkan masyarakat agar mensyukuri iman





Kamis, 11 April 2013


Oleh: Shalih Hasyim


DALAM buku Ma’alim Fith-Thoriq (Petunjuk Jalan) Sayyid Qutb (Ideolog Kedua Ikhwanul Muslimin Mesir) menulis bab khusus dengan judul Kebanggaan Iman. Bab ini menegaskan bahwa orang beriman adalah manusia yang senantiasa menjalin hubungan keimanan yang kuat dengan Rabb-nya. Allah Subhanahu Wata”ala . Dan jalinan hubungan imannya yang kuat dengan-Nya menyebabkan dirinya bermental kokoh. Bagaikan batu karang di tengah samudera. Ia tidak pernah merasa hina atau bersedih hati. Justru, ia selalu merasakan ketinggian dan kemuliaan di dalam hidupnya karena dirinya tersambung dengan Allah Subhanahu Wata”ala Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi. Inilah yang dimaksud oleh Sayyid Qutb dengan Kebanggaan Iman.


Betapa penting persoalan ini diangkat ke permukaan. Hal itu amat relevan jika dikaitkan dengan gejala/fenomena/realitas dunia modern yang penuh fitnah. Suatu kehidupan yang sekuler (memisahkan makhluk dari Al-Kholiq). Dan sebuah kehidupan yang mengikuti sistem ekonomi materialis, hedonis. Dua tsunami (skuler dan materialis) itulah yang menggerogoti iman dari dalam, dan menawarkan berbagai kebanggaan palsu. Ada kebanggaan harta, kebanggaan tahta dan jabatan, kebanggaan teknologi, kebanggaan intelektual-formal, kebanggaan popularitas dan kebanggaan-kebanggaan duniawi lainnya. 


Semua bentuk kebanggaan palsu tersebut tidak ada kaitan dengan iman kepada Allah Subhanahu Wata”ala . Sehingga menurut kajian Kebanggaan Iman bentuk-bentuk kebanggaan duniawi itu hakikatnya sangat lemah dan rapuh. Bahkan bersifat hina, semua dan tidak berarti di mata Allah Subhanahu Wata”ala .


Orang yang merasakan kemuliaan dan ketinggian hanya karena berbagai kebanggaan duniawi adalah orang-orang yang tertipu. Boleh jadi ia tampil dengan self-confidence (percaya-diri) yang tinggi sewaktu masih di dunia. Tetapi di akhirat kelak ia akan menyadari bahwa ia telah terpedaya. Sehingga ia akan menyesal telah membanggakan diri dengan kebanggaan-kebanggaan palsu. Ia tidak memperoleh nikmat spiritual, tetapi hanya mata’ud dunya (kenikmatan yang dekat dan sesaat). Itulah penyesalan yang sangat terlambat dan tentunya tiada berguna.


زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاء وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ


“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah Subhanahu Wata”ala-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran (3) : 14).


Janganlah kita silau/terpedaya memandang kekuasaan/jabatan, dunia dan seisinya ini dengan kaca mata Fir’aun.  Keduanya dipersepsikan sebagai ghoyah (tujuan akhir), bukan wasilatud dakwah (media dakwah). Ketika kekuasaan diraih, ia lupa diri dan lupa daratan. Ia mabuk kekuasaan dan gila harta dan pengaruh. Dia sadar dengan keimanan, ketika kondisi sedang terjepit. Sadar karena tekanan eksternal. Yaitu, ketika tubuhnya dipermainkan oleh gelombang bagaikan bola pimpong. Bukan bersumber dari lubuk hati yang dalam. Jangan berfikir aji mumpung, jangan bangga, jangan kaget dengan kekuasaan. 


وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ بَغْياً وَعَدْواً حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنتُ أَنَّهُ لا إِلِـهَ إِلاَّ الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَاْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
آلآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً وَإِنَّ كَثِيراً مِّنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ


“Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir’aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah Subhanahu Wata”ala)”. Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu [*] supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami.” (QS: Yunus (10) : 90-92)


Yang diselamatkan Allah Subhanahu Wata”ala ialah tubuh kasarnya. Menurut sejarah, setelah Fir’aun itu tenggelam mayatnya terdampar di pantai diketemukan oleh orang-orang Mesir lalu dibalsem, sehingga utuh sampai sekarang dan dapat dilihat di musium Mesir.


Syetan sangat cerdik menipu manusia dengan berbagai kebanggaan duniawi. Menggelincirkan penguasa, ilmuan, hartawan dari jalan yang lurus. Kekuasaan, harta dan ilmu tidak semakin mendekatkan pemiliknya kepada Allah Subhanahu Wata”ala.


Syetan menyuruh manusia agar jangan peduli dengan kebanggaan iman sebab itu adalah perkara yang terlalu abstrak dan tidak dapat dilihat secara kasat mata. Sementara itu kebanggaan duniawi bersifat kongkrit dan mudah terukur. Sehingga muncullah gelombang manusia yang masuk ke dalam perangkap syetan. Sehingga jabatan, ilmu dan harta tidak ditemani dan dikontrol secara langsung oleh spirit Iman.


ثُمَّ لآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ وَلاَ تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ


“Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (QS: Al Araf (7) : 17).


Kalau yang terperangkap adalah manusia awam yang jahil akan agamanya kita tentu prihatin, tetapi masih dapat memahaminya. Ironisnya, dewasa ini kita menyaksikan mereka yang terjerat tipuan syetan adalah orang-orang yang dikenal khalayak ramai sebagai orang-orang yang biasa ikut pengajian, bahkan para ustadz dan ahli ilmu syar’iyyah Islamiyyah. Mereka adalah orang-orang yang semestinya tampil mengarahkan masyarakat luas agar mensyukuri dan mempertahankan Kebanggaan Iman. 


Alih-alih melaksanakan kewajibannya sebagai mercusuar di tengah arus zaman penuh fitnah, mereka malah menjadi fihak yang mempromosikan pentingnya kebanggaan duniawi seperti kebanggaan akan tahta dan jabatan.


Mereka robah tolok-ukur keberhasilan da’wah. Keberhasilan da’wah Islam tidak lagi dinilai berdasarkan berapa banyak orang yang semakin beriman dan istiqomah. Tetapi dinilai berdasarkan berapa banyak dan berapa tinggi jabatan politik dan pos struktural kekuasaan yang berhasil direbut.


Kebanggaan tahta dan jabatan menjadi pembicaraan utama. Semua enersi dikerahkan untuk mencapai kebanggaan yang satu ini. Enersi waktu, fisik, batin, fikiran, dana dan doa semuanya dipusatkan demi kesuksesan merebut kekuasaan formal.


Kebanggaan iman semakin jarang dibicarakan dan malah semakin dirasa aneh dan tidak penting. Kerugian adalah saat seorang aktifis da’wah tidak berhasil merebut atau mempertahankan jabatan dan kekuasaannya untuk kebaikan. Keterlibatan dalam suatu kegiatan maksiat tidak dinilai sebagai sebuah kerugian, melainkan sebuah perilaku manusiawi yang wajar dan perlu dimaklumi. Mengejar ridho Allah Subhanahu Wata”ala menjadi kalah penting dibandingkan upaya image-building (pencitraan) dalam rangka mendapatkan dukungan rakyat luas.


Sayyid Qutb menjelaskan Kebanggaan Iman berpedoman kepada sebuah ayat Al-Qur’an yang berbunyi sebagai berikut:


وَلاَ تَهِنُوا وَلاَ تَحْزَنُوا وَأَنتُمُ الأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ


“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali Imran 139)


Selanjutnya Sayyid Qutb mengomentari ayat di atas dengan uraian sebagai berikut: “Dia melukiskan suatu keadaan yang tertinggi yang harus mendasari dalam kalbu seorang mukmin dalam menghadapi apa pun. Suatu kebanggaan karena iman dan sendi-sendinya yang mengatasi seluruh sendi yang bukan bersumber dari iman. Suatu ketinggian yang mengatasi seluruh kekuatan di bumi yang jauh dari dasar iman; dan mengatasi seluruh sendi yang hidup di bumi ini yang tidak ber¬sumber dari iman. Mengatasi seluruh tradisi di bumi ini yang tidak dicetak oleh iman. Mengatasi seluruh undang-undang di bumi ini yang tidak disyariatkan oleh iman, dan mengatasi seluruh posisi di bumi ini yang tidak ditumbuhkan oleh iman.


Suatu ketinggian yang walaupun tenaga lemah, jumlah ummat yang sedikit dan kemiskinan harta, sama dengan ketinggian di waktu kuat, jumlah yang banyak dan harta yang melimpah.


Suatu ketinggian yang tidak merasa terhina di hadapan kekuatan yang zalim, tidak merasa rendah di hadapan kebiasaan sosial dan hukum yang bathil, dan tidak merasa rendah di hadapan posisi yang diterima oleh manusia tetapi tanpa sandaran iman.” (Petunjuk Jalan – Penerbit Media Dakwah – halaman 272)


Masalahnya bukan pada memiliki atau tidak memiliki jabatan dan kekuasaan politik. Tetapi yang menjadi masalah apakah sesudah seseorang memiliki kekuasaan politik masihkah ia menjadikan Kebanggaan Iman sebagai tolok ukur kemuliaan dan ketinggian di dalam hidupnya? Dan jawabannya bukan sekedar berupa sebuah pernyataan atau claim (za’mun).


Jawabannya haruslah berupa bukti dalam perilaku dan kebijakan. Bukti terbaik adalah berupa langkah-langkah bersyukur kepada Allah Subhanahu Wata”ala. Dan sebaik-baik bentuk bersyukur kepada Allah Subhanahu Wata”ala ialah berupa pemanfaatan kekuasaan demi memastikan tegak dan berlakunya dienullah serta hukum Allah Subhanahu Wata”ala di bawah wilayah otoritas kekuasaannya. Itulah salah satu janji Allah Subhanahu Wata”ala  kepada orang beriman di dunia ini.


وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ


“Dan Allah Subhanahu Wata”ala telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An Nur (24) : 55).*


Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah


Red: Cholis Akbar


Article source: http://www.hidayatullah.com/read/26732/12/01/2013/surat-cinta-untuk-politisi-muslim-(2).html


Membangun Percaya Diri dan Pencitraan yang Hakiki (1)

0 comments :

Post a Comment