Implementasi Isra’ Mi’raj dalam Kehidupan
Oleh : Asasriwarni
Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol Padang
Padang Ekspres • Jumat, 24/05/2013 11:43 WIB • 50 klik
Maha Suci Allah, yang Telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang Telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
(QS. Al-Isra ayat 1)
Firman Allah dalam Surat al-Isra (17) ayat 1 di atas merupakan dalil yang kuat akan peristiwa Isra’ Mi’raj. Isra’ Mi’raj merupakan peristiwa suci yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW pada suatu malam tanggal 27 Rajab 10 tahun setelah Rasulullah SAW menerima wahyu kenabian. Dalam peristiwa tersebut Allah memperjalankan hamba-Nya yang terkasih, yaitu Muhammad SAW dari Masjidil Haram – Mekah ke Masjidil Aqsha –Palestina, atau yang disebut dengan Isra’ , kemudian dari Masjidil Aqsha naik ke langit ke-7 menuju Sidratul Muntaha, atau yang disebut dengan Mi’raj.
Peristiwa Isra’ Mi’raj ini terjadi pada masa-masa kesedihan yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW atau yang disebut juga dengan ‘ammul huzni (tahun kesedihan). Dikatakan masa ini dengan tahun kesedihan, karena pada saat itu Rasulullah masih dalam masa berduka kerena berpulangnya ke rahmatullah Istri beliau yang tercinta, yaitu Siti Khadijah. Disamping itu beliau juga bersedih karena meninggalnya Paman beliau yaitu Abu Thalib.
Kepergian kedua orang yang sangat dekat dengan Rasulullah ini sangat membuat duka di hati Rasulullah SAW. di samping kedua orang ini adalah keluarga Rasulullah sendiri, dan merupakan orang-orang yang membela dakwah Rasul di tengah-tengah masyarakat kafir Quraisy yang selalu menentang dakwah beliau. Dengan demikian, Isra’ Mi’raj juga merupakan rihlah spriritual yang juga sebagai pengobat duka di hati Rasulullah SAW.
Peristiwa Isra’ Mi’raj ini bukanlah peristiwa biasa yang tanpa makna. Sungguh banyak pelajaran dan hikmah yang dapat diambil dari peristia Isra’ Mi’raj tersebut, diantaranya adalah:
Pertama, Isra’ Mi’raj adalah perjalanan yang nyata, bukan perjalanan ruhani/mimpi atau khayalan. Sungguh tak bisa dibayangkan apabila perjalanan Isra’ Mi’raj yang Rasulullah jalankan merupakan hanya perjalanan ruhani alias hanya mimpi, karena jika hal itu yang terjadi maka perjalanan Isra’ Mi’raj tidak ada bedanya dengan wahyu-wahyu yang Rasulullah terima baik melalui bisikan Jibril maupun dari mimpi. Sehingga peristiwa Isra’ Mi’raj tidak bisa dijadikan pembuktian keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sepulangnya Rasulullah dari perjalanan Isra’ dan Mi’raj-nya, beliau mengumumkan tentang apa yang telah dialaminya semalam kepada kaumnya. Dan sebagaimana yang diceritakan oleh Rasulullah bahwa perjalanan Isra’ Mi’raj tersebut sebuah perjalanan yang dilakukannya dengan jiwa dan ruhnya, maka seketika itu banyak dari kaum Quraisy yang menentang dan mencemoohnya dengan sebutan ‘gila’. Kaumnya beranggapan mana mungkin perjalanan dari Masjidil Haram yang di Mekah ke Masjidil Aqsha yang ada di negeri Syam (Palestina) hanya dengan waktu semalaman, padahal mereka jika hendak ke negeri Syam untuk berdagang membutuhkan waktu hingga 1 bulan lamanya. Tak pelak peristiwa Isra’ Mi’raj yang menurut mereka tidak masuk akal membuat beberapa orang yang baru masuk Islam tergoyahkan keimanannya dan kembali menjadi murtad.
Kedua, Isra’ Mi’raj adalah jamuan kemuliaan dari Allah, penghibur hati, dan pengganti dari apa yang dialami Rasulullah SAW ketika berada di Thaif yang mendapatkan penghinaan, penolakan dan pengusiran. Sebelum peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi, Rasulullah SAW terus mengalami ujian yang sangat berat. Mulai dari embargo ekonomi hingga dikucilkan dari kehidupan sosial yang dilakukan oleh Kaum Quraisy terhadap Bani Hasyim dan Bani Muthalib, kemudian cobaan yang sangat berat diterima oleh Rasulullah SAW adalah meninggalnya orang-orang yang terkasihinya dalam waktu yang berdekatan yaitu meninggalnya pamannya Abu Thalib bin Abdul Muthalib serta istrinya tercinta Khadijah yang selalu menemaninya dan mendukungnya dengan jiwa, raga dan hartanya dalam perjalanan dakwah Rasulullah. Lalu hingga pengusiran, penolakan dan penghinaan kepada apa yang Rasulullah dakwahkan kepada penduduk kota Thaif.
Ketiga, Isra’ bukanlah peristiwa yang sederhana. Tetapi peristiwa yang menampakkan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah yang paling besar. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surat Al-Isra’: 1 dan An-Najm: 13-18 bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj merupakan pembuktian dan menampakkan tentang tanda-tanda kekuasaan Allah yang paling besar. Peristiwa Isra’ Mi’raj mengajarkan kepada kita bahwa tidak ada yang tidak bisa Allah lakukan, dan hal tersebut terkadang masih saja di antara kita yang meragukan tentang kekuasaan Allah yang sangatlah besar, sehingga membuat kita menjadi ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya.
Keempat, peristiwa Isra’ Mi’raj membuktikan bahwa risalah yang dibawa oleh Rasulullah adalah bersifat universal. Perjalanan Isra’ dari Masjidil Haram yang ada di Mekah ke Masjidil Aqsha yang ada di Syam melintasi ribuan kilometer yang jauh dari Mekah tempat Rasulullah dilahirkan, hal ini Allah ingin membuktikan bahwa ajaran yang Rasulullah bawa bukan hanya untuk penduduk Mekah saja tetapi untuk seluruh wilayah yang ada di bumi ini. Setibanya Rasulullah SAW di Masjidil Aqsha, beliau memimpin shalat para Nabi dan Rasul-Rasul Allah. Hal tersebut menandakan bahwa baginda Rasulullah SAW merupakan pemimpin dan penghulu para Nabi dan Rasul yang telah Allah turunkan sebelumnya. Dan agama Islam beserta syariatnya yang Rasulullah bawa menjadi ajaran dan syariat yang berlaku untuk seluruh kaum dan umat manusia di seluruh dunia.
Kelima, dalam Isra’ Mi’raj diturunkannya perintah shalat wajib 5 kali dalam sehari semalam . Ketika Rasulullah sampai di Sidratul Muntaha dan menghadap kepada Allah, lalu Allah menurunkan syariat shalat 5 waktu kepada Rasulullah SAW dan kepada para umatnya. Dan perintah shalat yang Rasulullah terima menjadi perintah yang Rasulullah pegang erat dan Rasulullah teguhkan kepada umatnya agar jangan sampai umatnya melalaikannya, karena ibadah shalat menjadi kunci utama diterimanya amalan-amalan umatnya yang lainnya hingga sampai Rasulullah mewasiatkannya pada detik-detik meninggalnya Rasulullah saw.
Diantara hikmah tersebut, Shalat merupakan inti dari Isra’ Mi’raj. Shalat adalah Mi’rajnya orang-orang mukmin. Dari shalat itu sendiri dapat dipetik beberapa hikmah, diantaranya adalah; pertama dimensi waktu, dimana shalat tersebut tidak wajib kalau belum masuk waktunya. Shalat juga tidak sah apabila dikerjakan di luar waktunya. Dengan demikian umat Islam sangat dituntut untuk menghargai waktu dan disiplin. Tidak akan terlambat dalam melaksanakan tugas, tidak terlambat masuk ke kantor, tidak terlambat menghadiri rapat, dan lain sebagainya.
Kedua dimensi thaharah, atau dimensi kebersihan dan kesucian. Kebersihan dan kesucian merupakan salah satu syarat sahnya shalat. Shalat yang dilakukan tidak akan sah apabila pakaian dan tempat shalat kotor, atau tidak suci. Demikian juga dalam kehidupan sehari-hari, seorang mukmin sangat dituntut untuk memperhatikan kesucian diri, baik yang akan dimakan, diminum, pakaian, dan tempat tinggal. Menghindarkan diri dari memakan dan meminum dari yang haram, baik zatnya, maupun dari segi cara mendapatkannya.
Dimensi ketiga adalah menutup aurat. Shalat tidak sah kalau aurat orang yang mengerjakannya terbuka. Demikian pula hendaknya di luar shalat. Dengan memperhatikan ketentuan menutup aurat tersebut, tentunya tidak ditemukan lagi anak gadis kita yang berpakaian serba senteng, pendek, dan ketat. Demikian pula halnya dengan anak laki-laki yang berpakaian di atas lutut.
Dimensi keempat, adalah menghadap kiblat, shalat tidak sah kalau tidak menghadap kiblat, kecuali dalam kondisi yang tidak normal, yang tidak diketahui arahnya, seperti dalam kendaraan, di hutan, dan lain sebagainya. Dengan ketentuan menghadap kiblat ini, tentunya seorang muslim menatap masa depannya terarah jauh ke depan. Dimensi kelima, yaitu dimensi khusu’. Dimensi khusu’ sangat diperlukan dalam shalat, meskipun sangat berat. Dengan demikian, berarti seorang muslim mengerjakan sesuatu dengan penuh kesungguhan dan konsentrasi dan hati-hati.
Dimensi Keenam patuh kepada imam dalam shalat berjama’ah. Apabila imam rukuk, makmumpun ikut rukuk, kalau imam sujud, makmum juga sujud, selama wuhdhu’ imam belum batal. Tetapi apabila ada imam yang keliru atau lupa dalam bacaan shalat, maka makmum boleh mengingatkannya dengan penuh etika, yaitu dengan ucapan subhanallah, bukan ditarik kebelakang. Dengan ketentuan ini berarti seorang muslim harus loyal dan patuh kepada pimpinan. Apabila ada pimpinan yang keliru dan tersalah, maka akan diingatkan dengan penuh kesopanan. Apabila setiap dimensi hikmah perintah shalat ini diperhatikan dan diamalkan dengan baik, maka insya Allah kehidupan yang baik kan diperoleh oleh setiap muslim.(*)
[ Red/Administrator ]
Article source: http://nasional.kompas.com/read/2013/04/10/10062185/Pesan.PPP.dari.Bangkalan.
Implementasi Isra' Mi'raj dalam Kehidupan
0 comments :
Post a Comment