Saturday, May 25, 2013

Implementasi Isra' Mi'raj dalam Kehidupan

Implementasi Isra’ Mi’raj dalam Kehidupan


Oleh : Asasriwarni


Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol Padang


Padang Ekspres • Jumat, 24/05/2013 11:43 WIB • 50 klik


Maha Suci Allah, yang Telah mem­perjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang Telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Se­sungguhnya Dia adalah Maha men­dengar lagi Maha Mengetahui.



 



(QS. Al-Isra ayat 1)


 


Firman Allah dalam Surat al-Isra (17) ayat 1 di atas merupakan dalil yang kuat akan peristiwa Isra’ Mi’raj.  Isra’ Mi’raj merupakan peristiwa suci yang di­alami oleh Nabi Muhammad SAW pada suatu malam tanggal 27 Rajab 10 tahun setelah Rasulullah SAW me­ne­rima wahyu kenabian. Dalam peristiwa ter­sebut Allah memperjalankan ham­ba-Nya yang terkasih, yaitu Mu­ham­mad SAW dari Masjidil Haram – Mekah ke Masjidil Aqsha –Palestina, atau yang disebut dengan Isra’ ,  kemudian dari Masjidil Aqsha naik ke langit ke-7 menuju Sidratul Muntaha, atau yang disebut dengan Mi’raj.


 


Peristiwa Isra’ Mi’raj ini terjadi pada masa-masa kesedihan yang di­a­lami oleh Nabi Muhammad SAW atau yang disebut juga dengan ‘ammul huzni  (tahun kesedihan). Dikatakan masa ini de­ngan tahun kesedihan, karena pada saat itu Rasulullah masih dalam masa berduka kerena berpulangnya ke rah­ma­tullah Istri beliau yang tercinta, yaitu Siti Khadijah. Disamping itu beliau juga bersedih karena meninggalnya Paman beliau yaitu Abu Thalib.


 


Kepergian kedua orang yang sangat dekat dengan Rasulullah ini sangat mem­buat duka di hati Rasulullah SAW. di samping kedua orang ini adalah ke­luarga Rasulullah sendiri, dan me­rupakan orang-orang yang membela dak­wah Rasul di tengah-tengah ma­syarakat kafir Quraisy yang selalu me­nentang dakwah beliau. Dengan de­mi­kian, Isra’ Mi’raj juga merupakan rihlah spri­ritual yang juga sebagai pengobat du­ka di hati Rasulullah SAW. 


 


Peristiwa Isra’ Mi’raj ini bukanlah pe­ristiwa biasa yang tanpa makna. Sungguh banyak pelajaran dan hikmah yang dapat diambil dari peristia Isra’ Mi’raj tersebut, diantaranya adalah:


 


Pertama, Isra’ Mi’raj adalah per­ja­lanan yang nyata, bukan perjalanan ru­hani/mimpi atau khayalan. Sungguh tak bisa dibayangkan apabila per­ja­lanan Isra’ Mi’raj yang Rasulullah ja­lan­kan merupakan hanya perjalanan ru­hani alias hanya mimpi, karena jika hal itu yang terjadi maka perjalanan Isra’ Mi’raj tidak ada bedanya dengan wa­h­yu-wahyu yang Rasulullah terima baik melalui bisikan Jibril maupun dari mim­pi. Sehingga peristiwa Isra’ Mi’raj tidak bisa dijadikan pembuktian ke­imanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sepulangnya Rasulullah dari per­ja­lanan Isra’ dan Mi’raj-nya, beliau me­ngu­mumkan tentang apa yang telah di­ala­minya semalam kepada kaumnya. Dan sebagaimana yang diceritakan oleh Ra­sulullah bahwa perjalanan Isra’ Mi’raj tersebut sebuah perjalanan yang di­lakukannya dengan jiwa dan ruhnya, maka seketika itu banyak dari kaum Quraisy yang menentang dan men­ce­moohnya dengan sebutan ‘gila’. Kaum­nya beranggapan mana mungkin per­ja­lanan dari Masjidil Haram yang di Me­kah ke Masjidil Aqsha yang ada di ne­geri Syam (Palestina) hanya dengan wak­tu semalaman, padahal mereka jika hendak ke negeri Syam untuk ber­da­gang membutuhkan waktu hingga 1 bu­lan lamanya. Tak pelak peristiwa Isra’ Mi’raj yang menurut mereka tidak ma­suk akal membuat beberapa orang yang baru masuk Islam tergoyahkan ke­ima­nan­nya dan kembali menjadi murtad.


 


Kedua, Isra’ Mi’raj adalah jamuan ke­muliaan dari Allah, penghibur hati, dan pengganti dari apa yang dialami Rasulullah SAW ketika berada di Thaif yang mendapatkan penghinaan, pe­no­lakan dan pengusiran. Sebelum pe­ris­tiwa Isra’ Mi’raj terjadi, Rasulullah SAW terus mengalami ujian yang sa­ngat berat. Mulai dari embargo e­ko­nomi hingga dikucilkan dari kehidupan sosial yang dilakukan oleh Kaum Qu­raisy terhadap Bani Hasyim dan Bani Muthalib, kemudian cobaan yang sa­ngat berat diterima oleh Rasulullah SAW adalah meninggalnya orang-orang yang terkasihinya dalam waktu yang berdekatan yaitu meninggalnya pamannya Abu Thalib bin Abdul Mu­thalib serta istrinya tercinta Khadijah yang selalu menemaninya dan men­du­kungnya dengan jiwa, raga dan har­tanya dalam perjalanan dakwah Ra­su­lullah. Lalu hingga pengusiran, pe­no­lakan dan penghinaan kepada apa yang Rasulullah dakwahkan kepada pen­duduk kota Thaif.


 


Ketiga, Isra’ bukanlah peristiwa yang sederhana. Tetapi peristiwa yang me­nampakkan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah yang paling besar. Se­bagaimana yang telah dijelaskan dalam su­rat Al-Isra’: 1 dan An-Najm: 13-18 bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj me­ru­pakan pembuktian dan me­nam­pakkan tentang tanda-tanda kekuasaan Allah yang paling besar. Peristiwa Isra’ Mi’raj mengajarkan kepada kita bahwa ti­dak ada yang tidak bisa Allah lakukan, dan hal tersebut terkadang masih saja di ­antara kita yang meragukan tentang ke­kuasaan Allah yang sangatlah besar, se­hingga membuat kita menjadi ingkar ke­pada Allah dan Rasul-Nya.


 


Keempat, peristiwa Isra’ Mi’raj mem­buktikan bahwa risalah yang di­bawa oleh Rasulullah adalah bersifat uni­versal. Perjalanan Isra’ dari Masjidil Ha­ram yang ada di Mekah ke Masjidil Aqsha yang ada di Syam melintasi ri­buan kilometer yang jauh dari Mekah tem­pat Rasulullah dilahirkan, hal ini Allah ingin membuktikan bahwa ajaran yang Rasulullah bawa bukan hanya un­tuk penduduk Mekah saja tetapi untuk se­luruh wilayah yang ada di bumi ini. Setibanya Rasulullah SAW di Masjidil Aqsha, beliau memimpin shalat para Nabi dan Rasul-Rasul Allah. Hal ter­se­but menandakan bahwa baginda Ra­su­l­ullah SAW merupakan pemimpin dan pe­­nghulu para Nabi dan Rasul yang te­lah Allah turunkan sebelumnya. Dan a­gama Islam beserta syariatnya yang Ra­s­u­lullah bawa menjadi ajaran dan syariat yang berlaku untuk seluruh kaum dan umat manusia di seluruh du­nia.


 


Kelima, dalam Isra’ Mi’raj di­tu­run­kannya perintah shalat wajib 5 kali dalam sehari semalam . Ketika Ra­su­lullah sampai di Sidratul Muntaha dan meng­hadap kepada Allah, lalu Allah me­nurunkan syariat shalat 5 waktu ke­pada Rasulullah SAW dan kepada para umat­nya. Dan perintah shalat yang Ra­sulullah terima menjadi perintah yang Rasulullah pegang erat dan Rasulullah te­guh­kan kepada umatnya agar jangan sampai umatnya melalaikannya, ka­rena ibadah shalat menjadi kunci u­tama diterimanya amalan-amalan umat­nya yang lainnya hingga sampai Ra­sulullah mewasiatkannya pada de­tik-detik meninggalnya Rasulullah saw.


 


Diantara hikmah tersebut, Shalat me­rupakan inti dari Isra’ Mi’raj. Shalat a­dalah Mi’rajnya orang-orang mukmin. Dari shalat itu sendiri dapat dipetik be­berapa hikmah, diantaranya adalah; per­tama dimensi waktu, dimana shalat ter­sebut tidak wajib kalau belum ma­suk waktunya. Shalat juga tidak sah apa­bila dikerjakan di luar waktunya. De­ngan demikian umat Islam sangat di­tuntut untuk menghargai waktu dan di­siplin. Tidak akan terlambat dalam melaksanakan tugas, tidak terlambat masuk ke kantor,  tidak terlambat menghadiri rapat, dan lain sebagainya.


 


Kedua dimensi thaharah, atau di­mensi kebersihan dan kesucian. Ke­ber­sihan dan kesucian merupakan salah sa­tu syarat sahnya shalat. Shalat yang di­lakukan tidak akan sah apabila pa­kaian dan tempat shalat kotor, atau ti­dak suci. Demikian juga dalam ke­hi­dupan sehari-hari, seorang mukmin sa­ngat dituntut untuk memperhatikan ke­sucian diri, baik yang akan dimakan, di­minum, pakaian, dan tempat tinggal. Meng­hindarkan diri dari memakan dan me­minum dari yang haram, baik zatnya, maupun dari segi cara men­dapat­kannya.


 


Dimensi ketiga adalah menutup aurat. Shalat tidak sah kalau aurat orang yang mengerjakannya terbuka. De­mikian pula hendaknya di luar shalat. De­n­gan memperhatikan ketentuan me­nutup aurat tersebut, tentunya tidak di­te­mukan lagi anak gadis kita yang ber­pakaian serba senteng, pendek, dan ke­tat. Demikian pula halnya dengan anak laki-laki yang berpakaian di atas lutut.


 


Dimensi keempat, adalah meng­hadap kiblat, shalat tidak sah kalau tidak menghadap kiblat, kecuali dalam kon­disi yang tidak normal, yang tidak di­ketahui arahnya, seperti dalam kendaraan, di hutan, dan lain se­bagai­nya. Dengan ketentuan menghadap kiblat ini, tentunya seorang muslim me­natap masa depannya terarah jauh ke depan. Dimensi kelima, yaitu di­men­si khusu’. Dimensi khusu’ sangat di­perlukan dalam shalat, mes­ki­pun sa­ngat berat. Dengan demikian, be­rarti se­orang muslim mengerjakan se­suatu de­ngan penuh kesungguhan  dan kon­­sentrasi dan hati-hati.


 


Dimensi Keenam patuh kepada imam dalam shalat berjama’ah. Apabila imam rukuk, makmumpun ikut rukuk, ka­lau imam sujud, makmum juga su­jud, selama wuhdhu’ imam belum ba­tal. Te­tapi apabila ada imam yang keliru atau lu­pa dalam bacaan shalat, maka mak­mum boleh mengingatkannya de­ngan penuh etika, yaitu dengan ucapan su­bha­nallah, bukan ditarik ke­be­la­kang. Dengan ke­tentuan ini berarti se­orang muslim ha­rus loyal dan patuh kepada pimpinan. A­pabila ada pim­pinan yang keliru dan ter­salah, maka akan diingatkan dengan pe­nuh ke­sopanan. Apabila setiap dimensi hik­­mah perintah shalat ini diperhatikan dan diamalkan dengan baik, maka insya Allah kehidupan yang baik kan diperoleh oleh setiap muslim.(*)


[ Red/Administrator ]


Article source: http://nasional.kompas.com/read/2013/04/10/10062185/Pesan.PPP.dari.Bangkalan.


Implementasi Isra' Mi'raj dalam Kehidupan

0 comments :

Post a Comment