Saturday, July 20, 2013

Nafsu, Qalbu, wa Ruh

Nafsu, Qalbu, wa Ruh


Oleh : H. Sutan Zaili Asril


Wartawan Senior


Padang Ekspres • Minggu, 21/07/2013 01:57 WIB • 21 klik


H. Sutan Zaili Asril


SEBAGAIMANA kebanyakan dari kita, masa di bulan Ramadlan digunakan Cucu Magek Dirih mengulangi kaji/menyegarkan berbagai pemahaman tentang ajaran agama Islam. Salah satunya, memahami kembali nafs, qalb, dan ruh. Ia membaca kitab-kitab atau banyak buku yang ada dalam perpustakaan pribadinya, dan masih pula kitab-kitab atau banyak buku pada library online. Misalnya, an-nafs berasal dari kata Arab, bisa bermakna: napas, nafsu, jiwa, diri, ruh, jasad, qolbu. Kata nafs berhubungan dengan nephes di dalam Hebrew (bahasa Ibrani). Dalam bahasa Inggris, kata mendekati/sering digunakan menerjemahkan nafs adalah soul, tapi, soul terbatas penggunaan suatu yang bersifat teologis dan metafisik. Kadangkala nafs diterjemahkan sebagai mind (Inggris) yang berarti pikiran, benak, tapi, mind tidak bisa mewakili kedalaman makna nafs. Dalam bahasa Indonesia nafs diterjemahkan sebagai jiwa, walau sering rancu dengan makna hawa nafsu, tapi, pemaknaan jiwa (perpaduan antara ruh dan jasad.) sering digunakan dalam istilah psikologi Islam. Kata nafs banyak disebutkan di dalam Al Quran, ada beberapa makna yang terkandung di dalamnya.


 


Pertama (QS 5:32), seorang manusia (seutuhnya): ”Oleh kare­na itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (mem­bu­nuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, seakan-akan ia/dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang­siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, seolah-olah ia/dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, lalu banyak di antara mereka sesu­dah itu sungguh-sungguh melam­paui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.” Kedua, apa yang terdapat (bagian) dalam diri ma­nu­sia yang menghasilkan tingkah laku (QS 13:11): ”Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” Ketiga, me­nunjukkan diri Allah SWT (QS 6:12): ”Katakanlah: Kepunyaan Allah. Dia telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang.” Dalam Al Quran, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna sebagai sarana menampung dan mendo­rong manusia untuk berbuat ke­baikan dan keburukkan (QS 91:7-8): ”Dan jiwa serta penyempur­naan­nya (ciptaan), Allah me­ng­ilham­kan pada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” Mengilhamkan berarti memberi potensi agar manusia melalui nafs dapat menangkap makna baik dan baru, serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan keburukkan. Setelah ruh dan ja­sad disatukan maka munculah pengaruh yang ditimbulkan jasad terhadap ruh, pengaruh tersebut kemudian memunculkan kebu­tuh­an-kebutuhan jasad yang di­bangun oleh ruh. Kebutuhan atau dorongan jiwa inilah yang dikenal dengan hawa nafsu.


 


Berkatalah Ibnu Abbas RA: ”Sumber dari maksiat, nafsu birahi, dan kelalaian adalah hawa nafsu. Bagimu berteman dengan orang bodoh yang membenci hawa nafsu lebih baik ketimbang berteman dengan orang pandai yang menyu­kai hawa nafsunya. Ilmu macam apakah yang dimiliki orang alim (pandai) yang menyukai hawa nafsunya atau kebodohan apakah yang akan dimiliki orang bodoh yang membenci hawa nafsunya?” Al-Quran selalu mengajak manusia untuk selalu menjaga/mensuci­kan jiwa-nya dari dorongan hawa nafsu (QS 4:29): ”Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesung­guhnya Allah adalah yang Maha Penyayang padamu.” Atau (QS. 91:8-10), ”Sesungguhnya berun­tung orang yang mensucikan jiwa itu. Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya


 


Al-Ghazali memjelaskan pe­nger­tian-pengertian aql, qalb, ruh, dan nafs. Menurut Al Ghazali, ’aql adalah pengetahuan yang dikate­gorikan dalam tiga: pertama, pengetahuan aksiomatis (al-’ulum al-dharuriyyah), muncul dalam diri manusia saat ia mencapai usia tertentu. Ini mencakup penge­tahuan tentang yang kemung­kinan suatu yang mungkin dan kemustahilan mustahil. Seperti tiga lebih banyak dari dua atau sebuah benda tak mungkin berada lebih dari satu tempat di dalam waktu bersamaan. Kedua, penge­ta­huan didapat dari pengalaman/interrelasi pada lingkungan. Di sini, ’aql dipertentangkan dengan jahl (kebodohan). Ketiga, pengeta­huan memungkinkan seseorang mengembangkan kemampuan mengendalikan diri/hawa nafsu dan tidak lagi terjebak dengan ke­senangan-kesenangan tempo­rer—yang berakhir buruk. Dalam pe­ngertian kedua, ’aql berarti kuali­tas (washf) yang membedakan manusia dari hewan, memung­kin­kan paham ilmu-ilmu speku­latif, dan menyadari operasi mental psikologis yang terjadi dalam diri. Secara sederhana ’aql adalah fakultas penyerap pengetahuan.


 


Lalu, qalb—sebagaimana ’aql—mempunyai dua pengertian. Per­ta­ma, qalb sebagai entitas fisik yang merupakan hati, segumpal daging yang tergantung di dalam rongga dada sebelah kiri manusia. Kedua, qalb adalah esensi paling mendasar dari manusia yang dapat menalar/mengetahui infor­ma­si atau pengetahuan. Dalam definisi kedua ini kelihatan ada persamaan yang mendasar de­ngan definisi ’aql yang kedua. Ruh, sebagai fakultas psikologi adalah sama dengan qalb, meski dalam definisi material berbeda. Ruh adalah materi halus yang merupa­kan tonggak kehidupan manusia. Kehilangan ruh berarti kematian. Materi halus ini bersumber dalam hati qalb (dalam arti material) yang disebarkan oleh darah keselu­ruh bagian tubuh manusia. Lalu, nafs juga memiliki dua pengertian. Pertama, entitas immaterial yang merupakan sumber dari sifat-sifat negatif manusia seperti marah, dengki, dan sebagainya. Kedua, nafs dapat berarti esensi manusia yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan pemahaman-pema­haman dan pengetahuan (sama dengan ’aql dalam definisinya yang kedua).


 


Wa ma huwa ar-ruh? Roh atau ruuh (bahasa Arab) unsur non­ma­teri yang ada dalam jasad yang diciptakan Tuhan sebagai penye­bab ada kehidupan. Dalam pan­dang­an agama Islam, manusia merupakan makhluk terakhir diciptakan Allah, setelah makhluk lain seperti malaikat, jin (iblis), alam semesta, hewan (binatang), tum­buhan, dan lain-lainnya, di­cip­ta­kan. Allah menciptakan ma­nusia dengan dipersiapkan untuk jadi makhluk paling sem­purna. Manusia diciptakan untuk jadi khalifah di muka bumi dan me­makmurkan bumi.


 


Pada persiapan pertama, Allah mengambil perjanjian/kesaksian dari calon manusia. Yaitu, ruh-ruh manusia yang ada di alam arwah. Allah mengambil sumpah (Al Quran, surat Al A’raf ayat 172). Dengan kesaksian dan perjanjian itu, seluruh manusia yang lahir ke dunia dianggap sudah memiliki nilai (fitrah) beriman pada Allah dan ajaran yang lurus (agama Islam).


 


Dalam Kristen, secara etimo­logis, roh/ru-ach (Ibrani) unsur ketiga yang membentuk kehidu­pan manusia. Paulus menye­but­kan, bahwa manusia terdiri tiga unsur: roh, jiwa, dan tubuh. Unsur tubuh jasmani, wadag, yang dapat diraba. Jiwa atau nyawa, ada di dalam darah. Roh memberi manu­sia kesadaran. Tubuh jasmani dapat binasa, roh manusia kekal. Dalam Kristen diakui, Allah ada­lah roh (Yohanes 4:24). Yesus Kris­tus disebut Allah atau Bapa. Bapa adalah roh. Roh Kudus, roh Tuhan. Roh Kudus tidak diciptakan, tapi, keluar dari Bapa (Yohanes 15:26). Roh Kudus hanya satu, sekaligus me­menuhi banyak manusia/mem­­berikan rupa-rupa karunia roh (1 Korintus 12:4). Arwah, roh dari manusia meninggal. Kristen mem­percayai, tiap arwah manu­sia yang benar ditempatkan ma­lai­kat Tuhan di Firdaus Allah—ke pa­ngkuan Abraham (Lukas 16:23), sedang arwah orang yang tidak benar ditempatkan di Hades. Iblis pun disebut satan, dalam Kristen dipercaya sebagai pribadi roh (tunggal, bukan jamak), asal dari penghulu malaikat yang memberontak pada Allah, dan diusir dari surga. Setan-setan disebut roh-roh jahat—bermakna banyak. Sepertiga jumlah malai­kat yang terpengaruh iblis dan ikut memberontak, lalu diusir dari surga, dijatuhkan ke bumi. Iblis dan roh-roh jahat mempunyai ke­cenderungan menggoda manu­sia berbuat dosa—kelak mendapatkan hukuman Tuhan di neraka di Hari Penghakiman.


 


BEGITULAH, ulama menyu­sun tingkatan dan derajah nafs dalam tujuh tingkatan: amarah, lawwamah,  mulhimmah, mut­main­nah, radhiah, mardhiah, dan kamilah. Nafs amarah (akan selalu menyeru berbuat jahat, Surat Yusuf ayat 53) adalah tingkatan nafsu manusia yang terendah: sifat dan watah manusia pada tingkat ini sangat buruk. Ciri-ciri (QS 10:53): orangnya gampang tersinggung, selalu marah-ma­rah, merasa benar sendiri atau tidak mau kalah, dendam, ringan tangan, nafsu seksual tidak terken­dali, tidak ada pengendali dalam diri (norma/etika). Kedua, nafs law­wamah (pencela/Surat Al Qiyamah ayat 2), yang setingkat le­bih baik daripada nafs amarah, tapi, diri belum stabil, karena terkadang ia/dia kembali jatuh ke tingkat nafsu amarah. Ciri-ciri (QS 75:2): tidak stabil, setelah menjadi baik, bahkan mengajak orang untuk baik, setelah ada ujian/godaan sedikit saja masih kembali ke asal (maksiat)/tidak sabar.


 


Ketiga, nafsu mulhimah, adalah telah cukup mengetahui tentang kebenaran (al-haq) dan kesalahan (al-bathil), tapi, belum mampu untuk melaksanakan dengan/secara baik karena kelema­han­nya. Ciri-cirinya (QS 91:8): telah mengetahui kebathilan dan atau kemaksiatan tapi tetap mela­ku­kannya dengan kesadaran, telah mengetahui kebenaran tapi, tidak ada kemauan melaksanakannya. Keempat, nafsu muthmainah (te­nang, Surat al-Fajr ayat 27-28), pada tingkatan ini orang telah dijanjikan Allah SWT masuk ke dalam surga-Nya. Ciri-cirinya (QS 89:27-30): Jiwa tenang, kem­bali kepada Rabbnya dengan hati puas, kepribadian mantap menger­jakan perintah Allah, mening­gal­kan larangan, tak mudah ter­penga­ruh/istiqamah. Kelima, nafs radhiah, pada tingkatan ini ma­nusia setingkat di atas nafs mu­thmainah, ditambah rasa ikhlas/penyerahan diri total pada Allah, kesusahan/musibah/tantangan menjadi nikmat baginya. Ciri-ciri (QS 2:45; dan QS 3:146): penuh ketakwaan, menerima segala ujian/musibah/tantangan dgn keikhlasan dan penuh kesabaran (tidak lemah, tidak lesu dan tidak menyerah).


 


Keenam, nafsu mardhiah, pada tingkatan ini manusia berada setingkat lagi di atas nafsu radhiah. Baginya, sesuatu yang sunnah dilaksanakannya seakan ibadat itu juga yang (nyaris sama de­ngan) diwajibkan dan memperla­kukan hal-hal yang subhat sebagai haram. Ciri-cirinya (QS 3:104; dan QS 19:97): Semua yang dimi­li­ki pada tingkatan nafsu radhiah ditambah mempunyai daya me­lak­sanakan/menegakkan amal ma’ruf nahi dan mungkar secara sejati, menjadi pemberi peringa­tan dan atau berita gembira. Ketujuh, nafsu kamilah. Manusia pada tingkatan nafsu yang sem­pur­na, ini hanya dimiliki oleh setingkat para Nabi dan para Rasul: nafs yang sudah berada pada tingkat penyerahan diri secara totalitas dengan pengabdian pada Allah. Ciri-ciri (QS 3:110; QS 33:21): memiliki sifat utama para Nabi/Rasul: siddiq (jujur/benar), amanah (dipercaya), fathonah (cerdas), dan tabligh (menyam­pai­kan).


 


KIRANYA, kita yang berpuasa Ramadhan mampu menaklukkan dan mengendalikan diri dalam arti, selain menahan lapar/daha­ga/berhubungan dengan isteri/suami, adalah berusaha melatih mengendalikan pikiran dan hati—orang bertakwa mengendalikan/terpelihara hati, pikiran, dan perbuatannya. Insya Allah berkah. (*)


[ Red/Administrator ]


Article source: http://beritasore.com/2013/06/27/azerbaijan-ajak-indonesia-mengesahkan-rsolusi-khusus/


Nafsu, Qalbu, wa Ruh

0 comments :

Post a Comment